Hai hai haiiii ... masih di kisah-kisah homeschooling dari dalamnya hutan hujan Kalimantan Timur. Dan yang akan saya sampaikan kali ini adalah tentang Homeschooling As A Lifestyle.
Pengertian lifestyle seperti yang biasa dijabarkan adalah gaya hidup atau keseluruhan pola dan tatanan hidup seseorang baik itu tentang kegiatan, minat serta hubungannya dengan lingkungan sekitar. Bisa dari pola hidup sehat hingga hal-hal yang dapat menginspirasi orang lain atau malah sebaliknya ada pula gaya hidup yang di anggap tabu, keluar dari pakem atau melenceng dari jalurnya menurut sebagian orang.
Seperti ketika memutuskan untuk berada di jalur yang bukan formal ini, ternyata banyak sekali yang belum memahami apa itu homeschooling. Bahkan kami pun yang menjalaninya di awal petualangan hanya berpikir bahwa ini adalah alternatif belajar dalam dunia pendidikan. Sarana lain dalam mengembangkan minat serta bakat anak tanpa menitipkannya ke sekolah. Pengertian yang sederhana untuk memulai sesuatu yang besar apalagi hanya dengan berbekal kemantapan hati serta sedikit nekat. Saat memasuki gerbangnya, terasa sunyi, lengang ... kami berjalan saja di jalur yang terlihat aman, karena di kanan kiri ada pula jalur extreme yang bagi pemula pastinya belum lah mumpuni.
Kemudian setelah beberapa bulan berjalan dalam keheningan rutinitas Kelas Tanpa Sekat ini, kami perlahan menemukan ritmenya, pola baru dalam keseharian yang entah itu dari sisi mindset ataupun rhythm of life. Sambil terus belajar bagaimana cara yang tepat dalam penyelenggaraannya yang tentu saja masih meraba ini, menyentuh itu dan mencari warna yang sesuai.
Just follow our instincts!
Di jalani saja sendirian di tengah ribuan pohon sawit di sekeliling rumah sesuai mood dari hari ke harinya. Sampai kemudian mulai ada pertanyaan-pertanyaan klasik yang kerap sekali diajukan kepada para orang tua yang memilih menghantarkan buah hati mereka mencapai apa yang diinginkan melalui pendidikan alternatif berbasis keluarga ini. Beberapa keingintahuan tidak hanya tentang bagaimana kehidupan anak homeschooling saja tetapi juga keseharian keluarga terutama Ibu. Karena di bagian ini peran ibu sedikit banyak menjadi lebih dominan meski ayah pun tak kalah penting perannya dalam penyelenggaraan homeschooling.
Bagaimana sih kehidupan keluarga homeschooling itu ?
Apakah homeschool parents bisa mempunyai me time ?
Bagaimana sosialisasinya ? Kesehariannya ? Pengelolaan emosinya ?
Dan banyak lagi.
Di sini, saya, sebagai homeschool mom yang meski masih baru sekali dalam menjalaninya sangat tertantang untuk menceritakan keseharian orang tua dengan anak yang tidak berada dalam jalur formal ini dari sudut pandang saya.
Ya, menyelenggarakan homeschooling di tengah perkebunan kelapa sawit dengan lokasi yang berada di pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya di kabupaten Kutai Kartanegara memang penuh percikan. Jauh dari kota, sehingga jauh pula dari tempat bersejarah, museum, perpustakaan dan fasilitas umum lainnya yang biasa dimanfaatkan oleh keluarga homeschooling sebagai tempat pembelajaran. Sedangkan di tempat kami, sejauh mata memandang hanya tampak pepohonan tinggi menjulang, berbagai jenis binatang hutan, anjing-anjing peliharaan masyarakat setempat yang bebas berkeliaran di dalam pasar dan berbaring santai di tengah jalan serta sungai berkelok indah dengan berbagai jenis kendaraan air khas pulau Kalimantan. Tentu saja inipun adalah tempat yang tak kalah mengagumkannya untuk menjalani Kelas Tanpa Sekat dengan memberi ruang luas bagi ananda untuk mengeksplor berbagai macam kegiatan yang dia suka. Salah satunya bersepeda yang hampir setiap hari dikayuhnya mengelilingi perkebunan.
Tempat ini telah mengajarkannya cara bergaul dengan bermacam suku dan juga teman lintas usia, serta menjadikannya sarana untuk melihat sisi lain dunia. Melihat berbagai jenis binatang liar dari dekat, mempelajari dedaunan, jenis tanah dan bebatuan. Mempelajari cara petani menghasilkan sayuran segar dengan berbagai jenis media tanam. Yang akhirnya mengerucut dengan membuat hidroponik mini sebagai sarana pembelajaran yang dia minta sendiri karena ketertarikan pada instalasinya. Kemudian ketika pohon ceri yang kami tanam mulai tinggi dan berbuah lebat, pesekolah rumah saya mulai belajar memanjat dan memetik buahnya.
Menjawab pertanyaan tentang sosialisasi kami terutama si pesekolah rumahnya bisa melalui beberapa hal. Semisal dua, tiga atau lebih dari keluarga-keluarga praktisi homeschooling ini biasanya membentuk satu komunitas dimana anak-anak mereka dapat bertemu dan berkegiatan bersama. Di sini terbentuklah satu komunitas homeschooling yang saling mendukung aktifitas para homeschoolers tersebut.
Tetapi karena untuk saat ini kami menjalaninya, sendiri tanpa komunitas terdekat. Yang mana dengan kondisi semacam ini mengharuskan kami tetap tangguh menempuh perjalanannya. Kalaupun dapat berhubungan dengan sesama keluarga homeschooling itu hanya bisa dilakukan secara online melalui meet class, zoom, ataupun whatsapp. Meski begitu patut lah bersyukur karena itu sudah cukup untuk kami berdiskusi tentang keadaan, kegiatan dan bermacam hal mengenai Sekolah Rumah. Untuk itu cara pesekolah rumah kami bersosialisasi adalah dengan membebaskannya berteman dengan siapa saja di lingkungan kami tanpa membedakan status sosial, suku dan agama.
Dengan hampir semua rutinitas keseharian yang selalu tentang alam sekitar, dedaunan, binatang-binatang, sungai, bebatuan, limbah kelapa sawit, dan banyak lagi, maka jika ada kesempatan pergi ke kota, kami akan pergunakan sebaik mungkin juga bisa sebagai pembelajaran bagi ananda, dari mulai mempersiapkan barang-barang untuk bepergian sampai membuat list apa saja yang akan dilakukan di kota nantinya. Secara garis besar seperti inilah keseharian keluarga kami yang pada akhirnya bisa menjadikan Homeschooling As a Lifestyle.
Lantas bagaimana dengan saya dan suami, apakah kami mempunyai rutinitas sendiri sebagai sarana melepas penat? Tentu saja ada. Suami, punya cara sendiri untuk membuat dirinya berlari dari kejenuhan rutinitas pekerjaan. Dia lebih suka menghabiskan malam dengan bermain gitar sambil bernyanyi, menonton film atau berkumpul dengan teman-teman yang satu hati ... eaaa, satu hati.
Untuk saya, sepertinya yang lebih banyak melakukan "pelarian penat" karena saya lah pusat dari kelancaran homeschooling keluarga kami. Dan cerita ini akan saya mulai dari selepas subuh di setiap harinya. Rutinitas yang sama sekali tidak membosankan jika sudah menempatkannya sebagai kewajiban saya untuk berbakti pada keluarga dan menjadikannya sebagai lifestyle. Dengan pemahaman ini maka kami dapat santai menjalaninya. Tidak terbebani dengan jadwal, kurikulum dan sebagainya. Seperti prakiraan cuaca, jadwal yang sudah ada bisa saja berubah sewaktu-waktu, begitu pula metode dan apa-apa saja yang telah tersusun rapi di agenda. Manusia bukanlah boneka besi yang sudah di atur dengan mesin. Jika semua yang sudah di rencanakan ternyata harus berubah pada saat pelaksanaannya tidak lah masalah. Hanya ikuti saja insting.
Seperti saat suara burung yang semalam tidur di rongga ventilasi jendela Rumah Kebun ini mulai bersenandung menyambut dinginnya fajar, maka itu adalah alarm bagi saya untuk segera melangkah ke dapur setelah sebelumnya saya biasa mandi sebelum adzan subuh. Letak dapur di sisi kanan rumah dengan empat jendela yang menghadap ratusan pepohonan kelapa sawit karena lokasi rumah kami berada di posisi paling ujung. Kegiatan di dapur biasa saya mulai setelah membuka gorden di lima belas jendela rumah kebun ini, eh banyak sekali jendelanya? Yups, memang banyak sekali jendela di rumah mungil ini, seakan di buat agar rumah semakin segar beraroma pepohonan. Aktifitas dari dapur dari menyiangi, memotong, merebus, menggoreng, membuat roti dan lainnya saya mulai sambil sesekali melihat kondisi di luar yang masih tampak gelap, suara serangga malam juga masih terdengar di sela-sela berisiknya nyanyian burung.
Ketika langit mulai berwarna biru muda, saya buka pintu dapur dan keluar untuk menyapu teras yang mengelilingi rumah sambil memberi makan ikan, menyiram tanaman dan mengajaknya bercakap-cakap sebentar. Kucing belang hitam putih yang menjadi penjaga rumah dari ular dan biawak yang terkadang muncul di sekitar rumah selalu mengikuti kemana saya bergerak, sesekali dia mengeong dan berputar di kaki saya, tak lama setelah menghabiskan makanannya maka dia akan tidur seharian di dalam rumah. Jadi kapan dia menjadi kucing penjaga? ehehee ...
Di sela-sela rutinitas pagi seperti ini menurut saya dapat pula untuk me-refresh pikiran, karena berjalan bersama kucing mengelilingi halaman dan bercakap-cakap dengan tanaman adalah hal yang menyenangkan untuk saya. Dan jika si pesekolah rumah sudah mulai berkegiatan yang dapat dia lakukan secara mandiri, disampingnya, sambil kami mengobrol, saya pun akan melatih otak dan jemari agar tetap kreatif. Terkadang saya membuat doodle art dan simple crafting.
Semua ini saya jadikan bentuk pelepas penat. Tetap membersamai ananda sambil melakukan hal yang saya suka. Jadi jangan terpaku pada stigma seorang ibu juga membutuhkan me time. Keluarga satu berbeda dengan lainnya, begitupun dengan karakter setiap ibu. Menciptakan sendiri saja hal-hal yang bisa membuat seorang ibu menjadi bahagia dan siap membersamai ananda di setiap harinya.
"Merubah me time menjadi our time saya rasa lebih bermanfaat bagi kesehatan mental kami, selain membangun kedekatan dapat pula menciptakan kenangan berharga."
Sedangkan untuk pengelolaan emosi memang masih harus banyak belajar. Yang pasti di saat ada kondisi yang menguras energi dan memancing emosi, biasanya saya akan diam sebentar untuk memikirkan apa yang harus saya katakan dan lakukan. Memberi ruang pada anak untuk berpikir pula dan merasakan emosinya baru kemudian kami akan mulai berdiskusi meluruskan permasalahan. Bagian pengendalian dan pengelolaan emosi memang yang paling sulit, apalagi saat perut kosong dan terjadi hal yang tidak sesuai kesepakatan. Jadi sekarang saya memutuskan untuk mengisi penuh perut sebelum memulai kegiatan bersama. Karena happy tummy, happy mommy ... perut kenyang, pandangan mata terang, hati riang, siap menghadapi hari yang menantang.
Rutinitas kami seperti ini sebenarnya tidak jauh beda bukan dengan kehidupan orang tua dengan anak-anak yang bersekolah formal, hanya saja dalam keluarga homeschooling seluruh aktifitas ananda baik tentang keseharian dan pembelajaran dalam bentuk apapun adalah menjadi tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Yang terlihat berbeda karena anak-anak tidak pergi ke sekolah selayaknya anak-anak pada umumnya. Kemudian cara atau metode belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing keluarga sehingga tidak ada yang seragam dalam homeschooling.
Untuk semua perjalanan yang masih sangat panjang ini, kami sampaikan terimakasih tak terhingga atas dorongan semangat tak berjeda dari PKBM Fanana Insan Baksya yang berlokasi di Malang, Jawa Timur, dimana kami bergabung sebagai warga belajarnya yang telah membuat kami terus berjalan dengan pasti meski harus sendirian menyelenggarakannya tanpa ada komunitas terdekat yang dapat kami datangi untuk dapat berbagi cerita ataupun sesekali berkegiatan bersama.
"Apapun Lifestyle pilihan anda, Just Follow Your Instincts!"