Thursday, July 15, 2021

Aku Sudah Magang

    Selamat pagi, siang, sore dan malam dari kami yang sedang menjalankan homeschooling di bawah rimbun dedaunan hutan hujan Kalimantan Timur. Blog yang menceritakan banyaknya hal menakjubkan dalam hari-hari membersamai ananda, si pesekolah rumah. Melihatnya bertumbuh, mengajari berbagai hal dalam keras dan lemahnya kehidupan nyata, mendampinginya berkegiatan dengan nyaman dan menjadi partner setia dalam menjawab setiap pertanyaannya. Perbekalan dengan menu yang sesuai untuk kebutuhannya saat ini dan nanti. 
    Semuanya kami lakukan dalam riuh suara alam di setiap pagi, di teriknya mentari khatulistiwa siang hari, dalam semburat senja oranye alam khalamanta di sore tanpa hembusan angin serta di heningnya kegelapan nan pekat dalam malam-malam Kutai Kartanegara, sebuah kabupaten di Kalimantan Timur yang di bagi menjadi 18 kecamatan.
     Delapan belas kecamatan tersebut adalah Samboja, Muara Jawa, Sanga Sanga, Loa Janan, Loa Kulu, Muara Muntai, Muara Wis, Kota Bangun, Tenggarong, Sebulu, Tenggarong Seberang, Anggana, Muara Badak, Marang Kayu, Muara Kaman, Kenohan, Kembang Janggut dan Tabang. Dan kami, saat ini sedang berada di kecamatan Kembang Janggut, sebuah distrik yang di bagi menjadi 7 desa yaitu Bukit Layang, Genting Tanah, Hambau, Kelekat, Kembang Janggut, Loa Sakoh, Long Bleh Haloq, Long Bleh Modang, Muai, Perdana dan Pulau Pinang. 
    Di desa dalam urutan terakhir tersebut tepatnya lokasi kami berdiam, desa Pulau Pinang. Sebuah desa dengan penduduknya yang berasal dari berbagai macam suku dan agama. Kehidupan ber-Bhinneka Tunggal Ika yang saya harapkan dapat menjadi contoh baik bagi si mas pesekolah rumah bahwa meski berbeda dalam hal apapun tetapi harus tetap bersatu dalam pertemanan, persahabatan dan persaudaraan. Hampir seluruh waktu kami berada di tempat yang bisa dikatakan sudah mulai tidak terpencil lagi karena telah ada satu jembatan panjang yang dapat menghubungkan kecamatan Kota Bangun dengan 5 kecamatan lainnya yaitu Tabang, Kembang Janggut, Kenohan, Muara Wis, dan Muara Muntai. Jembatan Martadipura nan gagah dengan panjang 15.3 kilometer tersebut telah  difungsikan untuk penghubung 5 kecamatan yang selama ini terisolir. 
    Dengan mengetahui lokasi tempat kami tinggal saat ini, maka dapat dibayangkan bagaimana jika keseharian kami ini hanya belajar tentang teori, tentu saja tidak akan mampu membangun satu kenyamanan dalam gembiranya eksplorasi di Sekolah Rumah. Oleh karena itu, sejak awal kami menyelenggarakan homeschooling ini program magang atau internship memang sudah menjadi menu keseharian. Magang di sini mempunyai rentang arti yang luas dan tidak lah susah dilakukan serta harus menunggu sampai anak cukup umur. Magang adalah satu proses belajar yang alami dan dapat diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini agar mereka dapat mengetahui permasalahan yang ada di dunia nyata, dunia kerja ataupun di lapangan untuk kemudian dapat menemukan solusinya. Jadi proses belajar tidak hanya teori saja tetapi juga terjun langsung agar dapat memahami bagaimana cara mencari jawaban atas permasalahan yang timbul.
    Yang pertama dan harus dilakukan oleh orang tua adalah menjadi cerminan bagi ananda. Orang tua homeschooling khususnya harus mau belajar banyak hal agar dapat mencontohkan berbagai macam ketrampilan baik itu terampil dalam hal sosialisasi maupun terampil dalam pekerjaan dan konsistensi dalam berkegiatan sehari-hari. Proses ini bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak agar dapat pula  terampil di berbagai hal melalui pengamatan dalam rutinitasnya. Mengajarkan nilai-nilai etika dan norma dalam bermasyarakat yang semua itu pastinya berawal dari dalam rumah. 
        
    Jika anak telah mampu memahami cara bersosialisasi serta berinteraksi dengan orang lain dalam banyak hal semisal dapat menyelesaikan satu pekerjaan yang telah di perintahkan oleh orang tua, keluarga maupun orang sekitarnya maka dapat ditambahkan proses selanjutnya yaitu mengarahkan pada apa yang diminati dan yang ingin ditekuni serta dikembangkan oleh ananda. 
    Dalam homeschooling keluarga kami, si mas pesekolah rumah tertarik dan jatuh cinta pada semua hal tentang listrik. Kecintaannya ini membuat dia dapat bertekun mendalami elektronika selama berjam-jam. Dan keinginannya untuk bekerja di bidang ini bahkan telah muncul selagi dia balita, sehingga program magang sangat penting dalam rancangan pembelajarannya. 
    Sering kali si mas pesekolah rumah kami beri tugas untuk memperbaiki beberapa hal yang berkaitan dengan rangkaian listrik seperti memperbaiki pompa air yang macet atau reparasi kipas angin dan bola lampu rusak. Kegiatan tersebut adalah satu bentuk magang bersama dengan keluarga di rumah.

    Pelaksanaan magang di rumah dalam keluarga kami juga mencakup bagaimana ananda dapat membantu teman-teman dilingkungannya yang tertarik untuk belajar tentang elektronika. Berbagi ilmu akan sangat membantunya semakin dapat meresapi apa yang terjadi di dunia kerja nantinya.  Ini dapat pula melatih dia belajar menjelaskan solusi permasalahan dalam setiap pertanyaan yang dilontarkan teman-temannya. 
    Yang kami harapkan dalam tumbuh kembang ananda dengan segala keunikannya ini bukan lah berlomba untuk menjadi juara di bidang tertentu tetapi terus mengasah dan menambah ketrampilannya dalam bertekun di hal-hal yang menjadi minatnya. Ini stimulasi yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan juga membantu menemukan karakternya sendiri.      
    Setelah beberapa poin penting dalam persiapan magang telah dilalui dan ananda juga telah mandiri serta siap untuk melihat dunia yang lebih luas lagi, maka tugas orang tua adalah membangun relasi yang kuat sebanyak-banyaknya agar proses magang ananda dapat lebih berkembang lagi dan tidak hanya belajar magang bersama keluarga di rumah saja. Untuk itu dapat membuat kesepakatan dengan keluarga lain ataupun dengan mentor yang sekiranya mau membuka kesempatan mendapatkan bantuan dari ananda. 
    Bentuk magang seperti ini harus dapat dipastikan bahwa ananda telah mampu dan sadar berkegiatan dengan tujuan membantu di keluarga lain ataupun di tempat mentor melakukan aktifitasnya sehari-hari. Membangun hubungan baik dengan cara interaksi kerja dengan orang lain ini adalah proses magang untuk menumbuhkan rasa percaya diri ananda yang juga dapat saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. 
        
        
    Dari proses pengamatan dalam keseharian di rumah sampai dapat mandiri untuk magang bersama keluarga lain, dengan mentor ataupun dalam kondisi tertentu di salah satu company, pastinya melalui tahapan yang tidak sebentar. Membutuhkan kesadaran bertekun dalam ketrampilan yang ingin dikembangkan. 
        
    Hal inilah yang nantinya akan membekali ananda pada saat usianya telah cukup untuk benar-benar berada dalam interaksi dunia kerja di tempat yang dia inginkan. Jadi mari kita belajar, berkarya dan bertekun dimanapun berada, bersama siapapun itu dan kapanpun kita inginkan.
       
 Aku Sudah Magang ... bersama orang tuaku, membantu teman-temanku dan juga keluarga lain disekitarku ... 

"Sebagaimana Ki Hajar Dewantara menyuarakan, 
bahwa Semua Tempat Adalah Sekolah, Semua Orang Adalah Guru dan Setiap Waktu Adalah Belajar."
        
 
Kutai Kartanegara,
15 Juli 2021

Thursday, June 24, 2021

Jangan Punya Gawai, Nak

    Salam bertumbuh dengan gembira dari kami di sunyinya perkebunan kelapa sawit. 
    
    Tulisan yang akan saya share kali ini adalah hasil dari obrolan santai dengan si mas pesekolah rumah di sela-sela kami berkegiatan. 
    
    Setiap keluarga dan bermacam keunikan peraturan di dalamnya sering menjadi topik pembicaraan dari hati ke hati bersama ananda. Dan yang menghangat dari sekian banyaknya pembahasan adalah family rules berbeda antara satu dengan yang lainnya tentang penggunaan gawai dan juga social media untuk anak-anak
    
    Menggulir pertanyaan mengapa belum diperbolehkan ber-gawai sendiri padahal hampir semua teman sebaya memiliki adalah pemantiknya. Kami, terutama saya yang memang masih tega untuk tidak mengijinkannya mempunyai gawai sendiri. Entah sampai kapan saya tetapkan peraturan ini, pasti nanti akan ada sendiri waktunya yang tepat yaitu di saat pola pikir dan usianya telah siap. Karena jika diperhatikan dari kesehariannya pun belum benar-benar membutuhkan. 

    Tidak sukanya akan games dalam gawai serta lebih fokusnya dia pada passion di bidang elektronik dan kesukaannya berkegiatan outdoor maka penggunaan gawai untuk beberapa hal semisal pembelajaran online bisa dengan laptop ataupun smartphone milik kami orang tuanya. Pembelajaran online yang saya maksud di sini adalah belajar tentang apapun melalui internet tidak hanya bersama teacher pendamping. 
    
    Saya berusaha menerangkan segamblang mungkin tentang banyaknya manfaat tetapi juga dengan sisi gelap bahayanya penggunaan gawai yang tidak terkontrol, baik itu bagi orang dewasa, remaja dan terutama untuk anak-anak.

    Dengan tidak memiliki gawai sendiri di usia yang belum cukup ini maka inti pembelajarannya adalah bagaimana caranya meminjam barang milik orang lain dan cara memperlakukan barang pinjaman tersebut dengan baik. Sedangkan jika memiliki gawai sendiri maka akan beresiko pada pemakaian yang jika kurang pengawasan dari orang tua dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang ananda sendiri. Baik dari sisi bahasa, daya ingat, kemampuan motorik, psikologis dan emosi anak juga dari segi kesehatan, belum lagi jika sampai adiksi yang pasti cukup mempengaruhi mental. Untuk yang remaja dan dewasa pun juga sama, yang mana jika penggunaan social media  tidak dibatasi maka akan berdampak pada keseharian. Dari menjadi kurang produktif, tidak bahagia dengan hidupnya sendiri hingga depresi serta berbagai efek mengerikan radiasi gawai pada tubuh manusia. 

    Tak lupa menceritakan pengalaman buruk saya saat belum terlalu memahami cara bermain social media. Begitupun dengan beberapa hal yang saat ini sedang saya lakukan untuk mengurangi dampak buruknya seperti mematikan notification, mute, unfollow dan bahkan uninstall aplikasinya untuk yang saya rasa malah menjadi toxic. Tidak lagi scroll serta mulai post di waktu-waktu tertentu saja dengan pertimbangan pemilihan materi untuk di unggah. 

    Semua penjelasan itu pastinya belum seluruhnya dapat di cerna dengan baik tetapi setidaknya si mas pesekolah rumah sudah mendapatkan alasan yang logic mengapa orang tuanya belum memberi ijin mempunyai gawai sendiri untuk saat ini apalagi sampai bermain social media

Jangan punya gawai, Nak ...
Tunggulah sampai usiamu mencukupi.
Ikuti saja passion mu, banyaklah berpetualang di alam bebas sekelilingmu, 
Karena gawai hanyalah salah satu alat yang mempunyai banyak manfaat jika paham dan bijak dalam penggunaannya. 
Tetapi akan menjadi candu jika sang pemilik tidak tahu cara mengendalikan penggunaannya.
Jadi jangan menyalahkan alatnya tetapi sedini mungkin mulai membentengi diri dari bahayanya. 


Kutai Kartanegara,
Juni 2021
    

    


 


Friday, April 9, 2021

Angin Dan Daun Adalah Teman Sekelas

    Menurut Howard Gardner, seorang tokoh pendidikan dan psikologi pencetus teori kecerdasan majemuk atau multiple intelligences, bahwa satu dari sembilan kecerdasan anak adalah kecerdasan naturalis. Pada anak yang memiliki kecerdasan naturalis ini mereka memiliki ketertarikan lebih untuk selalu dekat dengan alam sekitar dan makhluk hidup di sekelilingnya. Itu sebabnya mereka lebih suka berlama-lama di luar ruangan. Ketertarikan mereka tidak hanya suka menghabiskan waktu di alam bebas saja tetapi lebih dalam lagi yaitu mempunyai keinginan yang tinggi untuk mempelajarinya pula.

    Dan dari dalamnya hutan hujan Kalimantan Timur, ada si naturalis kami yang kesehariannya bermandikan aroma dedaunan. Minat yang tinggi akan kegiatan outdoor seperti  berkebun, bermain lumpur, mendirikan tenda, membuat api unggun, memanjat pohon, cross country  baik itu dengan bersepeda ataupun jalan kaki dan beberapa lagi aktifitas-aktifitas di alam terbuka membuat otak juga tubuhnya semakin ter-stimulasi dengan baik. Bermacam cara telah dipaparkan untuk menggugah daya naturalisnya, membuat kesepakatan kegiatan outdoor sangat membuatnya gembira. Salah satunya adalah lintas alam dengan bersepeda.

Memfasilitasinya dengan membuatkan jadwal bersepeda setiap hari minggu dengan jarak tempuh yang cukup jauh adalah satu dari sederet rutinitas si naturalis ini. Dan jalur yang cukup extreme sering menjadi pilihannya, karena sembari bersepeda juga dapat bermain lumpur.

Dengan membangkitkan kecerdasan anak-anak naturalis melalui berbagai stimulasi, harapan ke depannya akan ada generasi penerus yang dapat bersikap ramah pada makhluk hidup dan alam sekitar.

Bagaimana dengan bocah-bocah di keluarga anda? Adakah yang mempunyai kecerdasan naturalis seperti si mas pesekolah rumah kami? Semoga dengan mengenal dan dekat dengan alam, mereka menjadi lebih sabar, rendah hati, selalu bersyukur dan sepenuh hati mencintai Tuhan penciptanya.


"Angin dan Daun adalah teman sekelas si naturalis. Air dan Lumpur adalah sahabat sehati. Batu, Gunung, Lembah, Hutan, Matahari, Bulan dan Bintang adalah energi. Jadi biarkan mereka bermandikan harumnya, biarkan mereka bertaburan cahayanya karena alam adalah jiwanya."


Kutai Kartanegara,
April 2021


 



Wednesday, March 10, 2021

Aku Tidak Sekolah, Itulah Jalan Ninjaku




"Aku tidak sekolah tapi aku belajar banyak hal yang aku suka dengan apa saja, bersama siapa saja, kapan pun dan dimana pun yang aku mau. Kelasku tanpa sekat, perpustakaanku alam tak berbatas, guruku semua yang mencerahkan dan mata pelajaranku adalah kehidupan yang terkadang tak selalu berjalan sesuai rencana."

    Tidak menitipkan anak-anak ke sekolah formal bukan berarti menjadikan mereka generasi tanpa pengetahuan, kecakapan rendah, pola pikir sempit dan sedikit hubungan. Justru sebaliknya, dalam tanggung jawab penuh pendidikan berbasis keluarga maka orang tua dengan luwes dapat berproses bersama membantu mereka menemukan karakternya. Pola pikir dan hubungan luas pun dapat terbentuk dari banyaknya pertemanan usia. Sedangkan untuk kecakapan dan ketrampilan hidup akan lebih terasah dengan seringnya berkegiatan bersama keluarga dalam kesekharian. 
    
    Memberikan aktivitas ketrampilan dengan bahan apa saja yang ada di sekitar tempat tinggal adalah pembelajaran semurah-murahnya yang berdampak positif. Selain dapat menumbuhkan kreatifitas, menambah ketrampilan hidup, bermanfaat juga agar mengerti bagaimana cara yang baik dalam mengatur pengeluaran. Sehingga lambat laun dapat memberi pemahaman bahwa membeli sesuatu itu yang dibutuhkan bukan yang diinginkan. 
 
    Dengan situasi yang dikondisikan sedemikian rupa maka belajar akan menjadi efektif. Karena anak-anak dapat belajar apa saja yang disukai dalam suasana yang menyenangkan tanpa paksaan, ancaman, apalagi derai air mata. Belajarpun bukan semata-mata untuk mengejar nilai. Belajar bukan hanya tentang akademik. Belajar itu untuk keluar dari kegelapan, mencari cahaya terang di ujung lorong dengan cara yang berbeda sesuai dengan keunikan masing-masing anak. 
    
    Dan karena belajar itu adalah dorongan dari dalam diri untuk memahami dan memahami apa yang ingin dipelajari bukan apa yang harus dipelajari, maka keinginan belajar dapat muncul dari dalam diri sehingga si pembelajar akan mencari sendiri apa yang ingin diketahuinya. Oleh karena itu, untuk membangkitkan inisiatif anak dalam belajar diperlukan lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang dimaksud bukan hanya tentang ruang, tempat tinggal ataupun suasana sekitar saja. Di mulai dari kenyamanan anak dengan orang tua yang lebih banyak bertanya pada anak daripada selalu memberi perintah, Arah bahkan keharusan melakukan sesuatu sesuai keinginan orang tua. Hal ini bertujuan untuk memberi anak kesempatan berinisiatif menyampaikan pendapatnya. Melalui bincang santai sambil berkegiatan, pertanyaan-pertanyaan ringan saat makan siang atau sambil bercerita menjelang tidur malam terbukti sangat efektif untuk menggali banyak hal tentang diri anak, keinginan dan kebutuhan mereka. 

    Ketika  mendapatkan kelekatan dengan anak-anak maka inisiatif mereka untuk belajar banyak hal akan mengalir begitu saja. Dengan hanya mencontohkan aktivitas keseharian keluarga, maka tanpa diperintah lagi mereka akan mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya. Tetapi tentu saja ini membutuhkan waktu dan satu kuncian yaitu sabar berproses. Semua bertahap dengan perjalanannya yang berkelok-kelok sesuai karakter masing-masing keluarga tentunya.
    
    Jadi meskipun ada beberapa keluarga yang memilih untuk tidak menitipkan anak-anak mereka di sekolah formal bukan berarti anak-anak tersebut menjadi tertinggal di banyak hal. Anak-anak dan para orang tua itu bertumbuh seiring dengan pembelajaran dalam keseharian yang di bangun tiap keluarga. 

     Itu sebabnya, bagi yang berada di luar jalur ini hendaknya tidak memandang sebelah mata pada anak-anak yang tidak pergi ke sekolah. Jaman telah berubah, di negara kita meski sebagian besar orang tua masih tetap mempercayai putra putri mereka pada sistem belajar konvensional tetapi tak sedikit yang mulai beralih ke jalur pendidikan alternatif ini. 
    
    Berbagai macam pemicu melatarbelakangi perpindahan tersebut. Begitu pula dengan beragam pencarian bentuk serta pola pembelajaran yang tepat pada saat  deschooling atau masa transisi dimana harus mengalami banyak keruwetan dalam peralihan dari sekolah formal ke homeschooling  . Jika anak-anak sangat elastis maka sebenarnya orang tua lah yang harus terlebih dahulu bersiap menjalani proses penyelamatan tersebut. 

    Dan dukungan penuh akan sangat dibutuhkan saat satu keluarga merasa nyaman dengan model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Tidak ada seragam dalam mendidik anak karena visi tiap keluarga tidak sama dan keunikan tiap pribadi berbeda-beda maka tidak boleh ada penghakiman bahwa model pendidikan  yang diselenggarakan satu keluarga tersebut sudah tepat ataupun belum. Karena dalam hal ini tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Semuanya kembali pada kebutuhan masing-masing keluarga. Biarlah mereka berproses mencari sistem terbaik dari sekian penjabaran yang ada. 
      
    Seperti dalam masa pandemi ini, tampaknya sedikit menguntungkan bagi para praktisi homeschooling, karena dengan adanya belajar dari rumah membuat banyak orang tua tertarik untuk memahami apa sebenarnya  homeschooling tersebut . Meski awal dari pemahaman keliru bahwa Belajar Dari Rumah sama dengan Sekolah Rumah, itu wajar. Dan saat mengetahui bahwa kedua hal tersebut ternyata sangat berbeda, setidaknya mereka sudah sedikit mengerti tentang apa itu alternatif pendidikan dengan tidak pergi ke sekolah. Kalaupun sampai banyak keluarga yang pada akhirnya memutuskan untuk beralih ke homeschooling, dapat dikatakan  pandemi telah menjadi salah satu  pemicu  besar terjadinya perpindahan jalur pendidikan. 
    
   Semoga dengan bentuk pendidikan apa pun untuk anak-anak kita, pilihan itu bisa menjadi satu sarana belajar yang membahagiakan.  serupa dengan beberapa keluarga yang memilih homeschooling sebagai kendaraan mereka menuju destinasinya.

“Aku tidak sekolah bukan karena ku tak mau, 
tapi karena aku ingin lebih dari sekadar bersekolah." 


Kutai Kartanegara,
Maret 2021

    
    

    

    
    
    
    






 

Sunday, February 21, 2021

Homeschooling As A Lifestyle


Hai hai haiiii ... masih di kisah-kisah homeschooling dari dalamnya hutan hujan Kalimantan Timur. Dan yang akan saya sampaikan kali ini adalah tentang Homeschooling As A Lifestyle. 

        Pengertian lifestyle seperti yang biasa dijabarkan adalah gaya hidup atau keseluruhan pola dan tatanan hidup seseorang baik itu tentang kegiatan, minat serta hubungannya dengan lingkungan sekitar. Bisa dari pola hidup sehat hingga hal-hal yang dapat menginspirasi orang lain atau malah sebaliknya ada pula gaya hidup yang di anggap tabu, keluar dari pakem atau melenceng dari jalurnya menurut sebagian orang. 
    
        Seperti ketika memutuskan untuk berada di jalur yang bukan formal ini, ternyata banyak sekali yang belum memahami apa itu homeschooling. Bahkan kami pun yang menjalaninya di awal petualangan hanya berpikir bahwa ini adalah alternatif belajar dalam dunia pendidikan. Sarana lain dalam mengembangkan minat serta bakat anak tanpa menitipkannya ke sekolah. Pengertian yang sederhana untuk memulai sesuatu yang besar apalagi hanya dengan berbekal kemantapan hati serta sedikit nekat. Saat memasuki gerbangnya, terasa sunyi, lengang ... kami berjalan saja di jalur yang terlihat aman, karena di kanan kiri ada pula jalur extreme yang bagi pemula pastinya belum lah mumpuni.
    
        Kemudian setelah beberapa bulan berjalan dalam keheningan rutinitas Kelas Tanpa Sekat ini, kami perlahan menemukan ritmenya, pola baru dalam keseharian yang entah itu dari sisi mindset ataupun rhythm of life. Sambil terus belajar bagaimana cara yang tepat dalam penyelenggaraannya yang tentu saja masih meraba ini, menyentuh itu dan mencari warna yang sesuai. 

                Just follow our instincts!
        Di jalani saja sendirian di tengah ribuan pohon sawit di sekeliling rumah sesuai mood dari hari ke harinya. Sampai kemudian mulai ada pertanyaan-pertanyaan klasik yang kerap sekali diajukan kepada para orang tua yang memilih menghantarkan buah hati mereka mencapai apa yang diinginkan melalui pendidikan alternatif berbasis keluarga ini. Beberapa keingintahuan tidak hanya tentang bagaimana kehidupan anak homeschooling  saja tetapi juga keseharian keluarga terutama Ibu. Karena di bagian ini peran ibu sedikit banyak menjadi lebih dominan meski ayah pun tak kalah penting perannya dalam penyelenggaraan homeschooling

Bagaimana sih kehidupan keluarga homeschooling itu 
Apakah homeschool parents bisa mempunyai me time ?
Bagaimana sosialisasinya ? Kesehariannya ? Pengelolaan emosinya ? 
Dan banyak lagi.

      Di sini, saya, sebagai homeschool mom yang meski masih baru sekali dalam menjalaninya sangat tertantang untuk menceritakan keseharian orang tua dengan anak yang tidak berada dalam jalur formal ini dari sudut pandang saya.
    
        Ya, menyelenggarakan homeschooling di tengah perkebunan kelapa sawit dengan lokasi yang berada di pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya di kabupaten Kutai Kartanegara memang penuh percikan. Jauh dari kota, sehingga jauh pula dari tempat bersejarah, museum, perpustakaan dan fasilitas umum lainnya yang biasa dimanfaatkan oleh keluarga homeschooling sebagai tempat pembelajaran. Sedangkan di tempat kami, sejauh mata memandang hanya tampak pepohonan tinggi menjulang, berbagai jenis binatang hutan, anjing-anjing peliharaan masyarakat setempat yang bebas berkeliaran di dalam pasar dan berbaring santai di tengah jalan serta sungai berkelok indah dengan berbagai jenis kendaraan air khas pulau Kalimantan. Tentu saja inipun adalah tempat yang tak kalah mengagumkannya untuk menjalani Kelas Tanpa Sekat dengan memberi ruang luas bagi ananda untuk mengeksplor berbagai macam kegiatan yang dia suka. Salah satunya bersepeda yang hampir setiap hari dikayuhnya mengelilingi perkebunan.
        Tempat ini telah mengajarkannya cara bergaul dengan bermacam suku dan juga teman lintas usia, serta menjadikannya sarana untuk melihat sisi lain dunia. Melihat berbagai jenis binatang liar dari dekat, mempelajari dedaunan, jenis tanah dan bebatuan. Mempelajari cara petani menghasilkan sayuran segar dengan berbagai jenis media tanam. Yang akhirnya mengerucut dengan membuat hidroponik mini sebagai sarana pembelajaran yang dia minta sendiri karena ketertarikan pada instalasinya. Kemudian ketika pohon ceri yang kami tanam mulai tinggi dan berbuah lebat, pesekolah rumah saya mulai belajar memanjat dan memetik buahnya. 
    
        Menjawab pertanyaan tentang sosialisasi kami terutama si pesekolah rumahnya bisa melalui beberapa hal. Semisal dua, tiga atau lebih dari keluarga-keluarga praktisi homeschooling ini biasanya membentuk satu komunitas dimana anak-anak mereka dapat bertemu dan berkegiatan bersama. Di sini terbentuklah satu komunitas homeschooling yang saling mendukung aktifitas para homeschoolers tersebut. 

        Tetapi karena untuk saat ini kami menjalaninya, sendiri tanpa komunitas terdekat. Yang mana dengan kondisi semacam ini mengharuskan kami tetap tangguh menempuh perjalanannya. Kalaupun dapat berhubungan dengan sesama keluarga homeschooling itu hanya bisa dilakukan secara online melalui meet class, zoom, ataupun whatsapp. Meski begitu patut lah bersyukur karena itu sudah cukup untuk kami berdiskusi tentang keadaan, kegiatan dan bermacam hal mengenai Sekolah Rumah. Untuk itu cara pesekolah rumah kami bersosialisasi adalah dengan membebaskannya berteman dengan siapa saja di lingkungan kami tanpa membedakan status sosial, suku dan agama.  

        Dengan hampir semua rutinitas keseharian yang selalu tentang alam sekitar, dedaunan, binatang-binatang, sungai, bebatuan, limbah kelapa sawit, dan banyak lagi, maka jika ada kesempatan pergi ke kota, kami akan pergunakan sebaik mungkin juga bisa sebagai pembelajaran bagi ananda, dari mulai mempersiapkan barang-barang untuk bepergian sampai membuat list apa saja yang akan dilakukan di kota nantinya. Secara garis besar seperti inilah keseharian keluarga kami yang pada akhirnya bisa menjadikan Homeschooling As a Lifestyle.

        Lantas bagaimana dengan saya dan suami, apakah kami mempunyai rutinitas sendiri sebagai sarana melepas penat? Tentu saja ada. Suami, punya cara sendiri untuk membuat dirinya berlari dari kejenuhan rutinitas pekerjaan. Dia lebih suka menghabiskan malam dengan bermain gitar sambil bernyanyi, menonton film atau berkumpul dengan teman-teman yang satu hati ... eaaa, satu hati.

        Untuk saya, sepertinya yang lebih banyak melakukan "pelarian penat" karena saya lah pusat dari kelancaran homeschooling keluarga kami. Dan cerita ini akan saya mulai dari selepas subuh di setiap harinya. Rutinitas yang sama sekali tidak membosankan jika sudah menempatkannya sebagai kewajiban saya untuk berbakti pada keluarga dan menjadikannya sebagai lifestyle. Dengan pemahaman ini maka kami dapat santai menjalaninya. Tidak terbebani dengan jadwal, kurikulum dan sebagainya. Seperti prakiraan cuaca, jadwal yang sudah ada bisa saja berubah sewaktu-waktu, begitu pula metode dan apa-apa saja yang telah tersusun rapi di agenda. Manusia bukanlah boneka besi yang sudah di atur dengan mesin. Jika semua yang sudah di rencanakan ternyata harus berubah pada saat pelaksanaannya tidak lah masalah. Hanya ikuti saja insting. 
    
        Seperti saat suara burung yang semalam tidur di rongga ventilasi jendela Rumah Kebun ini mulai bersenandung menyambut dinginnya fajar, maka itu adalah alarm bagi saya untuk segera melangkah ke dapur setelah sebelumnya saya biasa mandi sebelum adzan subuh. Letak dapur di sisi kanan rumah dengan empat jendela yang menghadap ratusan pepohonan kelapa sawit karena lokasi rumah kami berada di posisi paling ujung. Kegiatan di dapur biasa saya mulai setelah membuka gorden di lima belas jendela rumah kebun ini, eh banyak sekali jendelanya? Yups, memang banyak sekali jendela di rumah mungil ini, seakan di buat agar rumah semakin segar beraroma pepohonan. Aktifitas dari dapur dari menyiangi, memotong, merebus, menggoreng, membuat roti dan lainnya saya mulai sambil sesekali melihat kondisi di luar yang masih tampak gelap, suara serangga malam juga masih terdengar di sela-sela berisiknya nyanyian burung. 
     
        Ketika langit mulai berwarna biru muda, saya buka pintu dapur dan keluar untuk menyapu teras yang mengelilingi rumah sambil memberi makan ikan, menyiram tanaman dan mengajaknya bercakap-cakap sebentar. Kucing belang hitam putih yang menjadi penjaga rumah dari ular dan biawak yang terkadang muncul di sekitar rumah selalu mengikuti kemana saya bergerak, sesekali dia mengeong dan berputar di kaki saya, tak lama setelah menghabiskan makanannya maka dia akan tidur seharian di dalam rumah. Jadi kapan dia menjadi kucing penjaga? ehehee ... 
    
        Di sela-sela rutinitas pagi seperti ini menurut saya dapat pula untuk me-refresh pikiran, karena berjalan bersama kucing mengelilingi halaman dan bercakap-cakap dengan tanaman adalah hal yang menyenangkan untuk saya. Dan jika si pesekolah rumah sudah mulai berkegiatan yang dapat dia lakukan secara mandiri, disampingnya, sambil kami mengobrol, saya pun akan melatih otak dan jemari agar tetap kreatif. Terkadang saya membuat doodle art dan simple crafting. 
        Semua ini saya jadikan bentuk pelepas penat. Tetap membersamai ananda sambil melakukan hal yang saya suka. Jadi jangan terpaku pada stigma seorang ibu juga membutuhkan me time. Keluarga satu berbeda dengan lainnya, begitupun dengan karakter setiap ibu. Menciptakan sendiri saja hal-hal yang bisa membuat seorang ibu menjadi bahagia dan siap membersamai ananda di setiap harinya. 

"Merubah me time menjadi our time saya rasa lebih bermanfaat bagi kesehatan mental kami, selain membangun kedekatan dapat pula menciptakan kenangan berharga."

        Sedangkan untuk pengelolaan emosi memang masih harus banyak belajar. Yang pasti di saat ada kondisi yang menguras energi dan memancing emosi, biasanya saya akan diam sebentar untuk memikirkan apa yang harus saya katakan dan lakukan. Memberi ruang pada anak untuk berpikir pula dan merasakan emosinya baru kemudian kami akan mulai berdiskusi meluruskan permasalahan. Bagian pengendalian dan pengelolaan emosi memang yang paling sulit, apalagi saat perut kosong dan terjadi hal yang tidak sesuai kesepakatan. Jadi sekarang saya memutuskan untuk mengisi penuh perut sebelum memulai kegiatan bersama. Karena happy tummy, happy mommy ... perut kenyang, pandangan mata terang, hati riang, siap menghadapi hari yang menantang. 
     
        Rutinitas kami seperti ini sebenarnya tidak jauh beda bukan dengan kehidupan orang tua dengan anak-anak yang bersekolah formal, hanya saja dalam keluarga homeschooling seluruh aktifitas ananda baik tentang keseharian dan pembelajaran dalam bentuk apapun adalah menjadi tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Yang terlihat berbeda karena anak-anak tidak pergi ke sekolah selayaknya anak-anak pada umumnya. Kemudian cara atau metode belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing keluarga sehingga tidak ada yang seragam dalam homeschooling. 
        
        Untuk semua perjalanan yang masih sangat panjang ini, kami sampaikan terimakasih tak terhingga atas dorongan semangat tak berjeda dari PKBM Fanana Insan Baksya yang berlokasi di Malang, Jawa Timur, dimana kami bergabung sebagai warga belajarnya yang telah membuat kami terus berjalan dengan pasti meski harus sendirian menyelenggarakannya tanpa ada komunitas terdekat yang dapat kami datangi untuk dapat berbagi cerita ataupun sesekali berkegiatan bersama. 
        

 "Apapun Lifestyle pilihan anda, Just Follow Your Instincts!"
        

Friday, January 22, 2021

Sekolah Rumah vs Belajar Dari Rumah


Jauh sebelum pandemi, kami telah memilih jalan alternatif yang menyenangkan untuk ananda dalam melejitkan potensinya. Pada waktu itu banyak sekali pertanyaan seputar Sekolah Rumah itu apa dan bagaimana menjalankannya? Dan sampai sekarang saya masih terus belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan bahasa sederhana agar mudah dibayangkan dulu karena mungkin saja masih kesulitan dalam memahaminya. 
Kemudian pandemi melanda, tatanan dunia menjadi jungkir balik. Tak terkecuali dalam hal pendidikan. Semua tidak lagi sama apalagi dikejutkan dengan adanya Belajar Dari Rumah. Hingga tertoreh beberapa kisah kelam di awal pandemi karena pembelajaran dari rumah ini pun tak terelakkan susahnya. Orang tua dan guru kalang kabut dalam pendampingan anak-anak karena memang semua tanpa persiapan lahir batin. Hal ini sangatlah wajar.

Selang beberapa bulan pandemi seakan segalanya masih berputar-putar tentang bagaimana membersamai ananda saat pembelajaran. Banyak bermunculan diskusi-diskusi membahas solusi menjaga kewarasan mental orang tua dan anak, terutama ibu. 

Saya menjadi sangat ingin tahu tentang semua hal tersebut dengan sering bertanya pada teman yang sedang menjalani peran pendampingan belajar dari rumah atau mengikuti beberapa kali diskusi daring yang diadakan oleh para ibu dengan putra putri yang bersekolah formal. Saya menyusup? Tidak. Saya tetap perkenalkan diri saya sebagai homeschool mom.  Dengan resiko harus menahan diri untuk tidak berkomentar banyak karena yang dibicarakan sangat bertentangan dengan prinsip pendampingan ananda di Sekolah Rumah. Ini semata-mata pengayaan informasi untuk diri sendiri pada awalnya, tetapi jika kemudian saya memutuskan untuk membaginya dengan pembaca karena dapat mengetahui pendapat dari berbagai sudut pandang itu tambahan vitamin buat saya. 

Di kesekian kalinya tentang pemaparan Belajar Dari Rumah, ada dua hal klasik yang menjadi keprihatinan saya. Pertama, mindset masih di rentang bahwa belajar itu hanya tentang menambah ilmu pengetahuan. Situasi ini membawa rasa bahwa pembelajaran dari rumah menjadikan anak-anak kekurangan ilmu, baik dalam hal akademis maupun kegiatan lain yang berhubungan dengan membaca, menulis, berhitung, menggambar untuk yang masih usia dini. Adapula rasa takut tertinggal pelajaran, menurunnya nilai rapor, sosialisasi berkurang serta merasa tidak mendapatkan pembelajaran dalam pembentukan karakter. Yang kedua, mendampingi putra putri itu konsepnya terbatas pada saat jam pembelajaran daring saja. Belum nampak catatan tentang pemberdayaan lifeskills dan bagaimana menjadikan kondisi pandemi ini sebagai life lesson. Tentang bagaimana cara mengelola kebosanan anak-anak atau semua anggota keluarga adalah juga salah satu pelajaran berharga. Itupun masih luput dari pengamatan karena semua masih terpusat pada akademis dan cara mengajar mereka yang dikondisikan seperti situasi guru dan murid dalam kelas. Mungkin jika saya masih berada di jalur formal juga akan merasakan hal yang sama karena semua kegiatan masih di rancang oleh sekolah. Sehingga perbincangan tentang apa itu belajar dapat dikatakan sangat sempit. Padahal belajar itu bukan hanya tentang menambah atau memasukkan ilmu tetapi mengeluarkan apa yang ada dalam diri, memantiknya hingga berkobar. Seperti halnya para penemu di masa lampau, mereka bukan belajar bagaimana cara membuat sesuatu tetapi mengasah cara memunculkan ide untuk kemudian diwujudkan menjadi sesuatu yang baru. Belajar juga bukan tentang ilmu pengetahuan saja. Banyak hal dalam keseharian yang bisa dinamakan belajar. Bercocok tanam, membersihkan dan menata ulang kamar, menyiangi ikan, memandikan kucing dan lain sebagainya yang dilakukan bersama-sama itu juga adalah belajar. 
Begitu pula dengan gegap gempitanya pembentukan karakter. Karena hampir semua sekolah mendengungkan lingkungan dengan standar tertentu adalah yang paling tepat untuk pembentukan karakter para siswa, maka ketika harus Belajar Dari Rumah ada ketakutan tersendiri bahwa karakter anak-anak akan menurun, kemudian melemah. Sejatinya kita semua lahir sudah membawa karakter masing-masing dan ini tugas utama orang tua sebagai pendampingnya, bukan guru, sekolah ataupun lembaga lainnya. Kalau boleh saya petik dari pemikiran Emha Ainun Najib, bahwa"peran orang tua bukan untuk membentuk karakter anak melainkan membantu menemukannya." Jelas sudah di sini, bahwa karakter anak-anak tidak di bentuk dalam standarisasi tertentu melainnya perlu didampingi saat pencariannya, dan orang tua lah sebagai pendamping pertama mereka.

Tetapi terlepas dari semua perbedaan ini, saya tidak berhak menghakimi bukan? Karena tiap keluarga mempunyai pemikiran dan kebutuhan yang berbeda. Dan lagi, dunia sudah pandai, hanya terkadang masih sering terbawa perasaan. Terlalu melankolis sehingga sisi sentimentil yang banyak dipertontonkan.

"Ayo menguat bersama dengan menghargai bermacam cara dalam mendidik putra putri bangsa yang diterapkan di tiap-tiap keluarga, agar rasanya menjadi sangat Indonesia ."

Salam Toleransi