Friday, January 22, 2021

Sekolah Rumah vs Belajar Dari Rumah


Jauh sebelum pandemi, kami telah memilih jalan alternatif yang menyenangkan untuk ananda dalam melejitkan potensinya. Pada waktu itu banyak sekali pertanyaan seputar Sekolah Rumah itu apa dan bagaimana menjalankannya? Dan sampai sekarang saya masih terus belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan bahasa sederhana agar mudah dibayangkan dulu karena mungkin saja masih kesulitan dalam memahaminya. 
Kemudian pandemi melanda, tatanan dunia menjadi jungkir balik. Tak terkecuali dalam hal pendidikan. Semua tidak lagi sama apalagi dikejutkan dengan adanya Belajar Dari Rumah. Hingga tertoreh beberapa kisah kelam di awal pandemi karena pembelajaran dari rumah ini pun tak terelakkan susahnya. Orang tua dan guru kalang kabut dalam pendampingan anak-anak karena memang semua tanpa persiapan lahir batin. Hal ini sangatlah wajar.

Selang beberapa bulan pandemi seakan segalanya masih berputar-putar tentang bagaimana membersamai ananda saat pembelajaran. Banyak bermunculan diskusi-diskusi membahas solusi menjaga kewarasan mental orang tua dan anak, terutama ibu. 

Saya menjadi sangat ingin tahu tentang semua hal tersebut dengan sering bertanya pada teman yang sedang menjalani peran pendampingan belajar dari rumah atau mengikuti beberapa kali diskusi daring yang diadakan oleh para ibu dengan putra putri yang bersekolah formal. Saya menyusup? Tidak. Saya tetap perkenalkan diri saya sebagai homeschool mom.  Dengan resiko harus menahan diri untuk tidak berkomentar banyak karena yang dibicarakan sangat bertentangan dengan prinsip pendampingan ananda di Sekolah Rumah. Ini semata-mata pengayaan informasi untuk diri sendiri pada awalnya, tetapi jika kemudian saya memutuskan untuk membaginya dengan pembaca karena dapat mengetahui pendapat dari berbagai sudut pandang itu tambahan vitamin buat saya. 

Di kesekian kalinya tentang pemaparan Belajar Dari Rumah, ada dua hal klasik yang menjadi keprihatinan saya. Pertama, mindset masih di rentang bahwa belajar itu hanya tentang menambah ilmu pengetahuan. Situasi ini membawa rasa bahwa pembelajaran dari rumah menjadikan anak-anak kekurangan ilmu, baik dalam hal akademis maupun kegiatan lain yang berhubungan dengan membaca, menulis, berhitung, menggambar untuk yang masih usia dini. Adapula rasa takut tertinggal pelajaran, menurunnya nilai rapor, sosialisasi berkurang serta merasa tidak mendapatkan pembelajaran dalam pembentukan karakter. Yang kedua, mendampingi putra putri itu konsepnya terbatas pada saat jam pembelajaran daring saja. Belum nampak catatan tentang pemberdayaan lifeskills dan bagaimana menjadikan kondisi pandemi ini sebagai life lesson. Tentang bagaimana cara mengelola kebosanan anak-anak atau semua anggota keluarga adalah juga salah satu pelajaran berharga. Itupun masih luput dari pengamatan karena semua masih terpusat pada akademis dan cara mengajar mereka yang dikondisikan seperti situasi guru dan murid dalam kelas. Mungkin jika saya masih berada di jalur formal juga akan merasakan hal yang sama karena semua kegiatan masih di rancang oleh sekolah. Sehingga perbincangan tentang apa itu belajar dapat dikatakan sangat sempit. Padahal belajar itu bukan hanya tentang menambah atau memasukkan ilmu tetapi mengeluarkan apa yang ada dalam diri, memantiknya hingga berkobar. Seperti halnya para penemu di masa lampau, mereka bukan belajar bagaimana cara membuat sesuatu tetapi mengasah cara memunculkan ide untuk kemudian diwujudkan menjadi sesuatu yang baru. Belajar juga bukan tentang ilmu pengetahuan saja. Banyak hal dalam keseharian yang bisa dinamakan belajar. Bercocok tanam, membersihkan dan menata ulang kamar, menyiangi ikan, memandikan kucing dan lain sebagainya yang dilakukan bersama-sama itu juga adalah belajar. 
Begitu pula dengan gegap gempitanya pembentukan karakter. Karena hampir semua sekolah mendengungkan lingkungan dengan standar tertentu adalah yang paling tepat untuk pembentukan karakter para siswa, maka ketika harus Belajar Dari Rumah ada ketakutan tersendiri bahwa karakter anak-anak akan menurun, kemudian melemah. Sejatinya kita semua lahir sudah membawa karakter masing-masing dan ini tugas utama orang tua sebagai pendampingnya, bukan guru, sekolah ataupun lembaga lainnya. Kalau boleh saya petik dari pemikiran Emha Ainun Najib, bahwa"peran orang tua bukan untuk membentuk karakter anak melainkan membantu menemukannya." Jelas sudah di sini, bahwa karakter anak-anak tidak di bentuk dalam standarisasi tertentu melainnya perlu didampingi saat pencariannya, dan orang tua lah sebagai pendamping pertama mereka.

Tetapi terlepas dari semua perbedaan ini, saya tidak berhak menghakimi bukan? Karena tiap keluarga mempunyai pemikiran dan kebutuhan yang berbeda. Dan lagi, dunia sudah pandai, hanya terkadang masih sering terbawa perasaan. Terlalu melankolis sehingga sisi sentimentil yang banyak dipertontonkan.

"Ayo menguat bersama dengan menghargai bermacam cara dalam mendidik putra putri bangsa yang diterapkan di tiap-tiap keluarga, agar rasanya menjadi sangat Indonesia ."

Salam Toleransi 































 

No comments:

Post a Comment