Sunday, May 8, 2022

Bulan Bersahaja


    Assalamualaikum .... 
Karena masih dalam rangkaian hari-hari nan suci, ijinkan kami sekeluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk semua yang merayakannya. Maafkan salah dan khilaf jika di blog ini ada tulisan yang mungkin kurang patut dan tidak berkenan di hati. 
    Dan bagaimana liburan Hari Raya kali ini? Pastinya berbagai cerita bahagia bertemu keluarga yang akan menjadi pembicaraan dalam beberapa hari ke depan. 
    Hmm .... Semua karena Lebaran memang selalu penuh kenangan di setiap tahunnya. Begitupun dengan Lebaran keluarga kami, selalu ada cerita tersendiri yang akan menjadi topik pembicaraan serta candaan keluarga. 
    Seperti kami yang sudah lima kali Lebaran merayakannya di perkebunan, tentu saja ada bermacam cerita dibalik keputusan berlebaran di tempat yang sunyi ini. Berada jauh dari perkotaan dan tentu saja belum bisa berkumpul dengan keluarga besar tidak pernah membuat kami kehilangan makna Ramadhan serta Idul Fitri. 
    Berkesadaran penuh kami berpuasa dan berlebaran dengan bahagia bersama keluarga-keluarga seperantauan di sekitar kami.
 
    Tahun ini sungguh istimewa setelah Ramadhan tahun lalu 14 hari lebih kami harus berjuang melawan covid 19. Dan Ramadhan kali ini kami serta si mas pesekolah rumah sudah benar-benar bisa menjalani rutinitas yang ada di bulan suci. 
    Alhamdulillah secara alami muncul beberapa hal yang dapat mengajarkan pada si mas pesekolah rumah tentang betapa mulia serta bersahajanya bulan Ramadhan dan Syawal. Perkembangan yang kami harapkan terjadi di waktu yang sudah semestinya. Semua yang alamiah tanpa paksaan memang selalu menyenangkan meski mungkin tampak lambat bagi keluarga lainnya. Tak mengapa, memang seperti inilah hakikat dari organic homeschooling yang kami jalani.
    Dan, satu bulan ini saat senja tiba, homeschooler kami selalu berbuka bersama teman-temannya di masjid, mereka berbuka dengan bermacam makanan bersahaja khas masyarakat setempat. Terkadang dia akan pulang setelah sholat maghrib dengan membawakan saya sepotong kue atau satu kotak nasi lengkap dengan lauknya, katanya "Ini buat ibu ..." tapi tak jarang dia akan melanjutkan sampai selepas sholat tarawih baru pulang. Itulah caranya bersosialisasi meski tidak bersekolah formal. Kami membebaskannya mengeksplor segala yang ada di perkebunan ini dengan batasan-batasan tertentu.
       Kembali tentang suasana bulan mulia ini di sunyinya perkebunan. Tidak adanya pasar Ramadhan di tempat tinggal kami seperti halnya di perkotaan adalah satu keindahan tersendiri untuk mengenal warna bulan puasa seperti dulu di tahun-tahun sebelum bergeloranya kesenangan berkuliner seperti sekitar 17 tahunan terakhir ini. Memang ada beberapa ibu-ibu yang menjajakan makanan untuk takjil tetapi itu pun dapat di hitung dengan jari. Tidak ada euforia hilir mudik sore hari membeli menu berbuka, semua nampak seperti dalam kenangan masa kecil saya dan suami. Hanya ada hal indah menunggu berbuka dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat bersama teman atau hanya di rumah sambil membantu menyiapkan menu berbuka. 
    Sebenar-benarnya pembelajaran dalam satu bulan penuh untuk si mas pesekolah rumah memahami bagaimana rutinitas yang terjadi di bulan Ramadhan dan Syawal. Dan homeschooler kami selama Ramadhan sudah bisa menjalaninya dengan penuh kesederhanaan. Ini sudah lebih dari cukup untuk membuat kami bersyukur dapat merayakan 1 Syawal di mana saja. 
   Saat kembali melihat berita di televisi dan di beberapa platform media sosial tentang kemacetan arus mudik tahun ini menjadi satu bentuk kegembiraan pula. Ikut senang beberapa teman dalam circle keluarga juga sudah bisa kembali mudik dengan suka cita. Doa-doa menyertai mereka, selamat sampai tujuan dan kembali lagi ke perkebunan dengan baterai semangat yang penuh. 
    Dan di pagi hari raya dengan hal tersyahdu saat bersujud, berbisik pada bumi untuk Dia yang ada di langit dalam harumnya Idul Fitri nan sunyi. Berjamaah dengan beberapa keluarga yang tersisa karena tidak mudik ke kampung halaman menyisakan bahagia tersendiri dan akan menjadi kenangan yang tidak tergantikan. 
    Inilah cerita Bulan Bersahaja keluarga kami tahun ini. Bagaimana dengan keluarga teman-teman, semoga cerita bahagia yang selalu bisa dibagikan. Salam bertumbuh dengan gembira dari dalamnya hutan hujan Kutai Kartanegara. 

Banyak beterbangan kunang-kunang
Cahayanya menerangi sisi hutan
Idul Fitri telah datang
Sekali lagi apabila ada salah dan khilaf mohon dimaafkan

.


Mei 2022,

Kutai Kartanegara


Friday, March 4, 2022

"Ada Hantu Di Perkebunan?"


    Mengapa berjudul "Ada Hantu Di Perkebunan?" 
Begini ceritanya ... 

    Berawal di suatu petang. Langit tampak bermendung gelap dengan sedikit rintik hujan dibarengi suara berderak khas pelepah pohon kelapa sawit tua saat bergesekan terkena angin. Si mas pesekolah rumah pulang dari masjid selepas sholat maghrib dengan wajah pucat dan tergopoh-gopoh memasukkan sepeda roda dua kesayangannya sambil bertanya "Ibu ... hantu itu seperti apa?" 

    Terkejut dengan pertanyaan itu, saya langsung menggandeng tangannya dan memberi minum agar nafasnya kembali teratur. Sambil berpikir bagaimana menjawab pertanyaan yang sebisa mungkin sesuai dengan nalar anak agar nantinya dapat dijadikan bahan diskusi sampai dia dewasa kelak. 

    Karena bentuk, wujud dan rupa hantu itu tergantung asumsi masing-masing individu. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa hantu itu berwarna putih dan melayang-layang, yang lain berkeyakinan bahwa hantu itu berbulu lebat, besar dan berwajah seram, adapula yang berkata hantu itu cantik, berbau harum dengan suara tawa yang semacam ringkikan kuda, semua itu sah-sah saja karena menurut saya sampai saat ini belum ada gambaran baku tentang wujud mereka. Dalam pandangan saya, jika berhubungan dengan hantu, setan, jin atau apapun namanya itu masih abstrak untuk di perdebatkan yang dapat memunculkan konklusi baku tentang bentuk, rupa wujud mereka.

    Dengan beberapa pilihan jawaban untuk pertanyaan tersebut, saya ambil opsi yang lebih bersahabat untuk pola pikir anak agar dapat di terima logika mereka. "Menurut ibu, hantu itu sama seperti kita manusia, punya keluarga, punya rumah, makan minum dan pergi ke pasar tetapi kita tidak bisa melihat mereka meskipun mereka ada di sekeliling kita. Mereka itu hidup berdampingan dengan kita tetapi untuk bentuknya seperti apa ibu juga tidak tahu, bisa saja segitiga, lingkaran ataupun belah ketupat. Mungkin bisa kita samakan dengan bentuk alien. Tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti."

    Dengan harapan dia akan berpikir lebih dalam lagi dan membuat pertanyaan lain semisal bagaimana cara hantu makan dan minum ataupun cara mereka berkembang biak, dengan membelah diri atau bertelur, kemudian cara mereka bernafas dengan kulit seperti cacing atau dengan insang bahkan bisa saja tidak bernafas. Banyak sekali kemungkinannya karena untuk mengetahui anatomi makhluk tak kasat mata ini juga belum sedetail itu informasinya sampai saat ini.

    Mendengar penjelasan seperti itu, dia terbelalak, "Jadi di samping kita semua ini ada hantu tapi tidak kelihatan? Ibu juga tidak bisa lihat kah? ... tapi ada suaranya kah buuu ...? Kata teman-temanku di masjid tadi, "Kau gak takut kah kalau pulang lewat pohon beringin di ujung itu ada suara tertawa ...?!?"

    Ini pertanyaan sambungan yang makin membuka diskusi tentang wujud serta suara hantu. Ternyata telah beredar cerita seram di kalangan anak-anak perkebunan tentang suara tawa di pohon beringin yang letaknya ada di belakang bangunan sebuah mess untuk para tamu yang datang dari luar perkebunan dalam rangka pekerjaan. Cerita horror bahwa sering terdengar suara tawa di malam hari saat ada yang melintas di jalanan samping pohon tersebut. Itu lah yang membuat teman-temannya penasaran ingin tahu seberapa besar keberanian ini anak untuk pergi dan pulang sendiri ke masjid di saat suasana telah gelap dan harus melewati pohon yang konon dikatakan sebagai tempat tinggal makhluk dari dunia lain. 

    Untuk menjelaskan dengan tidak membangun ketakutan lain lagi memang perlu ekstra hati-hati dalam pemilihan kalimatnya. Jadi saya lanjutkan dengan memberi penjelasan yang sederhana, "Selain malaikat, satu lagi dari ciptaan Tuhan yang tidak terlihat oleh mata manusia adalah hantu. Dan hantu juga bermacam jenisnya sama seperti bintang di langit dengan banyak nama dan macamnya, sama juga seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekeliling kita yang mempunyai ratusan bahkan ribuan jenis. Nah, dari semua makhluk tersebut ada yang dapat bersuara dan tidak terdengar suaranya oleh telinga manusia. Sekarang ibu ingin tahu, menurutmu sendiri bagaimana bentuk dan suara hantu itu?" Agak lama dia berusaha mengaitkan cerita teman dan jawaban disertai pertanyaan dari ibunya. "Hmm ... hantu itu seram lah, suaranya juga seram." yang saya timpali dengan pertanyaan lain, "Memangnya pernah lihat dan dengar sendiri suara hantu?" Dia menjawabnya dengan cepat, "Pernah, lihat di film horror." 

   Obrolan tentang hantu yang makin seru, "Baiklah, tidak masalah kalau pernah lihatnya di film dengan wajah serta suara seram. Tapi apakah film tentang hantu itu nyata atau hanya karangan manusia saja?" Matanya tampak menerawang mencari-cari jawaban, "Ahha, film itu kan buatan manusia, jadi gak betulan kah bu ... jadi kalau lewat pohon beringin di belakang mess itu gak usah takut kah kalau hantunya tertawa? kan gak kelihatan juga ya..." 

    Masih berusaha menjelaskannya lagi tapi tetap tanpa klasifikasi khusus, "Sekarang begini, pernah kah lihat ibu takut bangun tengah malam? Ibu kadang berkegiatan tengah malam sambil mendengar banyak macam suara binatang, suara angin, dan mungkin suara hantu tertawa karena suara hantu tertawa bisa jadi tidak sama seperti suara manusia saat tertawa. Karena bagaimana rupa, bentuk dan wujudnya saja belum ada kejelasan apalagi suaranya. Hmm ... masih ingat tentang poltergeist?" Terdiam menatap saya kemudian mengangguk. "Benda-benda di dunia ini dapat bergerak tiba-tiba tanpa kita ketahui kekuatan apa yang menggerakkannya, bisa jadi ada medan magnet di sekitarnya atau entahlah. Seperti yang sering kita lihat sendiri saat nature walk pagi hari, di antara rimbun dedaunan ada satu daun yang bergerak sendiri dengan gerakan yang sangat cepat. Ibu selalu katakan jangan takut karena ini kemungkinan adalah poltergeist dan itu sangat wajar terjadi."

    Memberi umpan balik seringnya cukup ampuh untuk menjawab sebuah pertanyaan. Saat dia menggeleng untuk menyatakan tidak pernah melihat ibunya takut saat tengah malam harus melakukan beberapa hal, kembali saya tekankan, "Kalau begitu, kenapa harus takut dengan hantu dan suaranya yang masih belum kita tahu pasti seperti apa, ya kan ...?" Dia tersenyum sambil berkata,"Kalau aku takut, aku baca doa aja ya buuu ..." Dengan satu anggukan dari ibunya paling tidak bisa membuat ketakutannya tadi berganti dengan rasa nyaman. Walaupun belum bisa dipastikan apakah esok hari dia akan mampu mengalahkan rasa takutnya saat melintas di jalanan samping pohon beringin.

    Kalau throw back ke beberapa tahun yang lalu. Selama kami tinggal di sini, sedikitpun dia tidak pernah takut pada gelapnya perkebunan. Saat si ayah tidak bisa menemani karena belum pulang dari kantor, dengan bersepeda dia pergi dan pulang sendiri ke masjid meski suasana sekitar sudah gelap sekalipun. Kebiasaan menjadi pemberani sedari usia 5 tahun ini tidak boleh hilang begitu saja hanya karena cerita seram dari teman-temannya. Tetapi tidak bisa dihindari pada anak-anak usia 9 tahunan memang sudah mulai muncul rasa takut sebagai bentuk sinyal waspada akan ancaman dari luar, ini bagus untuk tumbuh kembangnya. Pengalaman berharga pula untuknya bahwa ada berbagai macam perasaan dalam diri manusia yang bisa di redam dengan logika. 

    Mungkin si mas pesekolah rumah ini memang tidak pernah memakai seragam pramuka tapi dalam jiwanya ada api semangat pemberani sebagai praja muda karana dari pedalaman Kalimantan Timur. 

    "All the World is my School ... Setiap kejadian adalah pelajaran kehidupan yang tak tergantikan oleh mata pelajaran apapun karena bagi keluarga homeschooler seperti kami, seluas bentang alam raya ini adalah sekolah."


Salam bertumbuh dengan gembira,

Kutai Kartanegara, Maret 2022 




Tuesday, February 15, 2022

Karena Homeschool Mom Itu, Renjana


Hai hai haiii ... 
Sudah di tahun 2022

Lama tidak menulis, lama pula tidak bercerita tentang perkembangan homeschooling keluarga kami. 
Di bulan-bulan menuju akhir tahun lalu, saya memang memutuskan tidak menulis dulu di blog ini. 

Dengan beberapa kali melakukan perjalanan ke kota menjadi waktu yang berharga untuk memulihkan satu, dua dan sekian sebab berhenti menulis untuk sementara. Bukan tanpa alasan mengapa keputusan itu terbentuk. 
"Isi kepala sedang ramai," itulah yang terjadi. Ya, ramai dengan bermacam hal yang membuat tidak fokus dalam menulis. Keinginan untuk mulai membuat outline buku kedua juga tersendat, rapuh sekali otak ini hahaa ...
Sepertinya inspirasi memang akan datang sendiri, merenung sambil mencarinya pada saat duduk di pinggiran kolam sekalipun tak akan pernah ketemu. Maka, lebih baik berhenti, sementara. Menunggu "kedatangannya" sambil terus berkegiatan bersama si mas pesekolah rumah. 

Dan satu dari keramaian isi kepala pada saat itu adalah terlalu baper tentang bagaimana menentukan perjalanan homeschooling di fase terstruktur ini. Sebaiknya sudah mulai menggunakan metode tertentu kah? Karena seperti yang diketahui bahwa ada beberapa metode atau model homeschooling yang bisa di pilih oleh masing-masing keluarga. Diantaranya adalah School at Home, Unschooling, Eclectic, Waldorf, Classical, Charlotte Mason dan Montessori. Dari sekian model homeschooling tersebut memang metode Charlotte Mason lah yang dari sebelum memutuskan untuk ber-homeschooling sudah sangat menarik perhatian meski di beberapa prinsipnya sangat berat bagi keluarga banyak santainya seperti kami.  

Pilihan untuk menggunakan metode tertentu ini atau tetap saja di zona tanpa metode dengan berbekal intuisi seorang homeschool mom kok terjadi lagi? ... Yang pernah membaca blog saya di chapter Homeschooling Itu "Belantara" pasti paham awal dari pusaran soal cerita berulang ini dengan tambahan semakin tertarik dengan salah satu metode populernya. Meresahkan sih karena dua kali dipermasalahan yang sama rasanya itu sedikit ada horor-horornya meski tidak sehoror suara gelegak air dalam dispenser di tengah malam. So, apa benar kehidupan homeschool mom prosentase gundahnya lebih banyak? Bisa jadi! 

Kalau rindu itu berat, proses perjalanan homeschooling itu tanpa beban jika paham alurnya. Meski momen yang membawa kebaperan dapat terjadi tiba-tiba, entah karena paparan media sosial ataupun melalui percakapan dengan beberapa praktisi sekolah rumah. Oleh karenanya pertimbangkan benar-benar sebelum memasuki homeschooling zone. Jangan sampai kena mental kata anak muda revolusi industri ke 4 ini. Terus belajar memanglah kunci utamanya, terutama belajar tidak baperan ya hahaa ... 

Mempelajari pengalaman beberapa teman seperjalanan, saat di fase terstruktur selalu terjadi galau bertingkat. Memang tidak bisa dihindari seperti saat bertemu ular di tengah blok perkebunan saat lintas alam bersama si bocah homeschooler, maka sebaiknya diam, sejenak. Biarkan suasana hening, biarkan dia melintas, biarkan alam yang menariknya menuju perdu dan semak. Sebagaimana alam mengajarkan hal tersebut, begitu pula yang sebaiknya dilakukan untuk meredam suasana hati dan pikiran. 

Hal pertama yang menjadi pilihan untuk menemukan jawabannya adalah berjarak dengan media sosial, kembali memperdalam banyak hal tentang sejarah persekolahan, tentang bagaimana pendidikan sebelum adanya persekolahan dan bagaimana cara manusia di masa tersebut mewariskan tradisi leluhur, budaya setempat, nilai-nilai kesopanan, agama, adat istiadat, berbagai macam ketrampilan serta ilmu pengetahuan lain dari generasi ke generasi. 

Kemudian membaca ulang dan memahami setiap kata dan kalimat di Sekolah Itu Candu karya Roem Topatimasang terbitan 1998, benar-benar dapat menjadi pelipur lara, obat dari keramaian isi kepala karena terpapar beberapa hal yang sedikit membuat guncangan saat menjalani sekolah rumah tunggal ini. Yang realitanya cukup sering membutuhkan suplemen jiwa. 

Enam bulan, semacam di detox, perlahan dipulihkan oleh angin ekstrim di cuaca tak menentu awal tahun 2022 ini. Menjadi homeschool mom di tengah perkebunan kelapa sawit memang menyajikan berbagai tantangan. Tetapi saat dapat merasakan setiap birama yang terdengar dari sunyinya pagi hari, suara alam kala senja bahkan resonansi hujan petir di gelap gulitanya malam hari semakin menyakinkan bahwa setiap jiwa yang dapat selaras dengan kehidupan di perkebunan ini hanyalah orang-orang tertentu. Begitu pula ketika menjadi homeschool mom di sunyinya perkebunan, itupun dapat terlewati karena telah menjadi yang terpilih akan mampu menjalaninya. Homeschooling memang satu panggilan kuat dari dalam hati yang kemudian perlahan menjadi way of life

Kegundahan-kegundahan yang ada memang sudah sewajarnya terjadi. Itu menunjukkan bahwa kita bertumbuh dalam passion untuk memperbaiki proses panjang perjalanan Kelas Tanpa Sekat ini menjadi lebih tertata, terstruktur lagi. Tak mengapa meski terstrukturnya dengan ala-ala homeschooler santuy macam kami ini. Dalam homeschooling semuanya sah dan boleh-boleh saja, tetapi dengan batasan-batasan tertentu pastinya. Karena jika terlalu ke tepian maka hanya akan membenarkan kepentingan diri sendiri, tidak ada toleransi dan radikalisme lah yang akan menghampiri. 

"Memaknai bahwa menjadi homeschool mom adalah Renjana. Satu passion, satu kegembiraan, satu hal menyenangkan yang berharga untuk diperjuangkan. Maka di saat itulah semesta akan bergerak memberi tanda untuk menemukan kembali Renjana yang sempat tertindis."  


Salam bertumbuh dengan gembira dari Kelas Tanpa Sekat 

Pulau Pinang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur





 

Thursday, July 15, 2021

Aku Sudah Magang

    Selamat pagi, siang, sore dan malam dari kami yang sedang menjalankan homeschooling di bawah rimbun dedaunan hutan hujan Kalimantan Timur. Blog yang menceritakan banyaknya hal menakjubkan dalam hari-hari membersamai ananda, si pesekolah rumah. Melihatnya bertumbuh, mengajari berbagai hal dalam keras dan lemahnya kehidupan nyata, mendampinginya berkegiatan dengan nyaman dan menjadi partner setia dalam menjawab setiap pertanyaannya. Perbekalan dengan menu yang sesuai untuk kebutuhannya saat ini dan nanti. 
    Semuanya kami lakukan dalam riuh suara alam di setiap pagi, di teriknya mentari khatulistiwa siang hari, dalam semburat senja oranye alam khalamanta di sore tanpa hembusan angin serta di heningnya kegelapan nan pekat dalam malam-malam Kutai Kartanegara, sebuah kabupaten di Kalimantan Timur yang di bagi menjadi 18 kecamatan.
     Delapan belas kecamatan tersebut adalah Samboja, Muara Jawa, Sanga Sanga, Loa Janan, Loa Kulu, Muara Muntai, Muara Wis, Kota Bangun, Tenggarong, Sebulu, Tenggarong Seberang, Anggana, Muara Badak, Marang Kayu, Muara Kaman, Kenohan, Kembang Janggut dan Tabang. Dan kami, saat ini sedang berada di kecamatan Kembang Janggut, sebuah distrik yang di bagi menjadi 7 desa yaitu Bukit Layang, Genting Tanah, Hambau, Kelekat, Kembang Janggut, Loa Sakoh, Long Bleh Haloq, Long Bleh Modang, Muai, Perdana dan Pulau Pinang. 
    Di desa dalam urutan terakhir tersebut tepatnya lokasi kami berdiam, desa Pulau Pinang. Sebuah desa dengan penduduknya yang berasal dari berbagai macam suku dan agama. Kehidupan ber-Bhinneka Tunggal Ika yang saya harapkan dapat menjadi contoh baik bagi si mas pesekolah rumah bahwa meski berbeda dalam hal apapun tetapi harus tetap bersatu dalam pertemanan, persahabatan dan persaudaraan. Hampir seluruh waktu kami berada di tempat yang bisa dikatakan sudah mulai tidak terpencil lagi karena telah ada satu jembatan panjang yang dapat menghubungkan kecamatan Kota Bangun dengan 5 kecamatan lainnya yaitu Tabang, Kembang Janggut, Kenohan, Muara Wis, dan Muara Muntai. Jembatan Martadipura nan gagah dengan panjang 15.3 kilometer tersebut telah  difungsikan untuk penghubung 5 kecamatan yang selama ini terisolir. 
    Dengan mengetahui lokasi tempat kami tinggal saat ini, maka dapat dibayangkan bagaimana jika keseharian kami ini hanya belajar tentang teori, tentu saja tidak akan mampu membangun satu kenyamanan dalam gembiranya eksplorasi di Sekolah Rumah. Oleh karena itu, sejak awal kami menyelenggarakan homeschooling ini program magang atau internship memang sudah menjadi menu keseharian. Magang di sini mempunyai rentang arti yang luas dan tidak lah susah dilakukan serta harus menunggu sampai anak cukup umur. Magang adalah satu proses belajar yang alami dan dapat diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini agar mereka dapat mengetahui permasalahan yang ada di dunia nyata, dunia kerja ataupun di lapangan untuk kemudian dapat menemukan solusinya. Jadi proses belajar tidak hanya teori saja tetapi juga terjun langsung agar dapat memahami bagaimana cara mencari jawaban atas permasalahan yang timbul.
    Yang pertama dan harus dilakukan oleh orang tua adalah menjadi cerminan bagi ananda. Orang tua homeschooling khususnya harus mau belajar banyak hal agar dapat mencontohkan berbagai macam ketrampilan baik itu terampil dalam hal sosialisasi maupun terampil dalam pekerjaan dan konsistensi dalam berkegiatan sehari-hari. Proses ini bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak agar dapat pula  terampil di berbagai hal melalui pengamatan dalam rutinitasnya. Mengajarkan nilai-nilai etika dan norma dalam bermasyarakat yang semua itu pastinya berawal dari dalam rumah. 
        
    Jika anak telah mampu memahami cara bersosialisasi serta berinteraksi dengan orang lain dalam banyak hal semisal dapat menyelesaikan satu pekerjaan yang telah di perintahkan oleh orang tua, keluarga maupun orang sekitarnya maka dapat ditambahkan proses selanjutnya yaitu mengarahkan pada apa yang diminati dan yang ingin ditekuni serta dikembangkan oleh ananda. 
    Dalam homeschooling keluarga kami, si mas pesekolah rumah tertarik dan jatuh cinta pada semua hal tentang listrik. Kecintaannya ini membuat dia dapat bertekun mendalami elektronika selama berjam-jam. Dan keinginannya untuk bekerja di bidang ini bahkan telah muncul selagi dia balita, sehingga program magang sangat penting dalam rancangan pembelajarannya. 
    Sering kali si mas pesekolah rumah kami beri tugas untuk memperbaiki beberapa hal yang berkaitan dengan rangkaian listrik seperti memperbaiki pompa air yang macet atau reparasi kipas angin dan bola lampu rusak. Kegiatan tersebut adalah satu bentuk magang bersama dengan keluarga di rumah.

    Pelaksanaan magang di rumah dalam keluarga kami juga mencakup bagaimana ananda dapat membantu teman-teman dilingkungannya yang tertarik untuk belajar tentang elektronika. Berbagi ilmu akan sangat membantunya semakin dapat meresapi apa yang terjadi di dunia kerja nantinya.  Ini dapat pula melatih dia belajar menjelaskan solusi permasalahan dalam setiap pertanyaan yang dilontarkan teman-temannya. 
    Yang kami harapkan dalam tumbuh kembang ananda dengan segala keunikannya ini bukan lah berlomba untuk menjadi juara di bidang tertentu tetapi terus mengasah dan menambah ketrampilannya dalam bertekun di hal-hal yang menjadi minatnya. Ini stimulasi yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan juga membantu menemukan karakternya sendiri.      
    Setelah beberapa poin penting dalam persiapan magang telah dilalui dan ananda juga telah mandiri serta siap untuk melihat dunia yang lebih luas lagi, maka tugas orang tua adalah membangun relasi yang kuat sebanyak-banyaknya agar proses magang ananda dapat lebih berkembang lagi dan tidak hanya belajar magang bersama keluarga di rumah saja. Untuk itu dapat membuat kesepakatan dengan keluarga lain ataupun dengan mentor yang sekiranya mau membuka kesempatan mendapatkan bantuan dari ananda. 
    Bentuk magang seperti ini harus dapat dipastikan bahwa ananda telah mampu dan sadar berkegiatan dengan tujuan membantu di keluarga lain ataupun di tempat mentor melakukan aktifitasnya sehari-hari. Membangun hubungan baik dengan cara interaksi kerja dengan orang lain ini adalah proses magang untuk menumbuhkan rasa percaya diri ananda yang juga dapat saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. 
        
        
    Dari proses pengamatan dalam keseharian di rumah sampai dapat mandiri untuk magang bersama keluarga lain, dengan mentor ataupun dalam kondisi tertentu di salah satu company, pastinya melalui tahapan yang tidak sebentar. Membutuhkan kesadaran bertekun dalam ketrampilan yang ingin dikembangkan. 
        
    Hal inilah yang nantinya akan membekali ananda pada saat usianya telah cukup untuk benar-benar berada dalam interaksi dunia kerja di tempat yang dia inginkan. Jadi mari kita belajar, berkarya dan bertekun dimanapun berada, bersama siapapun itu dan kapanpun kita inginkan.
       
 Aku Sudah Magang ... bersama orang tuaku, membantu teman-temanku dan juga keluarga lain disekitarku ... 

"Sebagaimana Ki Hajar Dewantara menyuarakan, 
bahwa Semua Tempat Adalah Sekolah, Semua Orang Adalah Guru dan Setiap Waktu Adalah Belajar."
        
 
Kutai Kartanegara,
15 Juli 2021

Thursday, June 24, 2021

Jangan Punya Gawai, Nak

    Salam bertumbuh dengan gembira dari kami di sunyinya perkebunan kelapa sawit. 
    
    Tulisan yang akan saya share kali ini adalah hasil dari obrolan santai dengan si mas pesekolah rumah di sela-sela kami berkegiatan. 
    
    Setiap keluarga dan bermacam keunikan peraturan di dalamnya sering menjadi topik pembicaraan dari hati ke hati bersama ananda. Dan yang menghangat dari sekian banyaknya pembahasan adalah family rules berbeda antara satu dengan yang lainnya tentang penggunaan gawai dan juga social media untuk anak-anak
    
    Menggulir pertanyaan mengapa belum diperbolehkan ber-gawai sendiri padahal hampir semua teman sebaya memiliki adalah pemantiknya. Kami, terutama saya yang memang masih tega untuk tidak mengijinkannya mempunyai gawai sendiri. Entah sampai kapan saya tetapkan peraturan ini, pasti nanti akan ada sendiri waktunya yang tepat yaitu di saat pola pikir dan usianya telah siap. Karena jika diperhatikan dari kesehariannya pun belum benar-benar membutuhkan. 

    Tidak sukanya akan games dalam gawai serta lebih fokusnya dia pada passion di bidang elektronik dan kesukaannya berkegiatan outdoor maka penggunaan gawai untuk beberapa hal semisal pembelajaran online bisa dengan laptop ataupun smartphone milik kami orang tuanya. Pembelajaran online yang saya maksud di sini adalah belajar tentang apapun melalui internet tidak hanya bersama teacher pendamping. 
    
    Saya berusaha menerangkan segamblang mungkin tentang banyaknya manfaat tetapi juga dengan sisi gelap bahayanya penggunaan gawai yang tidak terkontrol, baik itu bagi orang dewasa, remaja dan terutama untuk anak-anak.

    Dengan tidak memiliki gawai sendiri di usia yang belum cukup ini maka inti pembelajarannya adalah bagaimana caranya meminjam barang milik orang lain dan cara memperlakukan barang pinjaman tersebut dengan baik. Sedangkan jika memiliki gawai sendiri maka akan beresiko pada pemakaian yang jika kurang pengawasan dari orang tua dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang ananda sendiri. Baik dari sisi bahasa, daya ingat, kemampuan motorik, psikologis dan emosi anak juga dari segi kesehatan, belum lagi jika sampai adiksi yang pasti cukup mempengaruhi mental. Untuk yang remaja dan dewasa pun juga sama, yang mana jika penggunaan social media  tidak dibatasi maka akan berdampak pada keseharian. Dari menjadi kurang produktif, tidak bahagia dengan hidupnya sendiri hingga depresi serta berbagai efek mengerikan radiasi gawai pada tubuh manusia. 

    Tak lupa menceritakan pengalaman buruk saya saat belum terlalu memahami cara bermain social media. Begitupun dengan beberapa hal yang saat ini sedang saya lakukan untuk mengurangi dampak buruknya seperti mematikan notification, mute, unfollow dan bahkan uninstall aplikasinya untuk yang saya rasa malah menjadi toxic. Tidak lagi scroll serta mulai post di waktu-waktu tertentu saja dengan pertimbangan pemilihan materi untuk di unggah. 

    Semua penjelasan itu pastinya belum seluruhnya dapat di cerna dengan baik tetapi setidaknya si mas pesekolah rumah sudah mendapatkan alasan yang logic mengapa orang tuanya belum memberi ijin mempunyai gawai sendiri untuk saat ini apalagi sampai bermain social media

Jangan punya gawai, Nak ...
Tunggulah sampai usiamu mencukupi.
Ikuti saja passion mu, banyaklah berpetualang di alam bebas sekelilingmu, 
Karena gawai hanyalah salah satu alat yang mempunyai banyak manfaat jika paham dan bijak dalam penggunaannya. 
Tetapi akan menjadi candu jika sang pemilik tidak tahu cara mengendalikan penggunaannya.
Jadi jangan menyalahkan alatnya tetapi sedini mungkin mulai membentengi diri dari bahayanya. 


Kutai Kartanegara,
Juni 2021
    

    


 


Friday, April 9, 2021

Angin Dan Daun Adalah Teman Sekelas

    Menurut Howard Gardner, seorang tokoh pendidikan dan psikologi pencetus teori kecerdasan majemuk atau multiple intelligences, bahwa satu dari sembilan kecerdasan anak adalah kecerdasan naturalis. Pada anak yang memiliki kecerdasan naturalis ini mereka memiliki ketertarikan lebih untuk selalu dekat dengan alam sekitar dan makhluk hidup di sekelilingnya. Itu sebabnya mereka lebih suka berlama-lama di luar ruangan. Ketertarikan mereka tidak hanya suka menghabiskan waktu di alam bebas saja tetapi lebih dalam lagi yaitu mempunyai keinginan yang tinggi untuk mempelajarinya pula.

    Dan dari dalamnya hutan hujan Kalimantan Timur, ada si naturalis kami yang kesehariannya bermandikan aroma dedaunan. Minat yang tinggi akan kegiatan outdoor seperti  berkebun, bermain lumpur, mendirikan tenda, membuat api unggun, memanjat pohon, cross country  baik itu dengan bersepeda ataupun jalan kaki dan beberapa lagi aktifitas-aktifitas di alam terbuka membuat otak juga tubuhnya semakin ter-stimulasi dengan baik. Bermacam cara telah dipaparkan untuk menggugah daya naturalisnya, membuat kesepakatan kegiatan outdoor sangat membuatnya gembira. Salah satunya adalah lintas alam dengan bersepeda.

Memfasilitasinya dengan membuatkan jadwal bersepeda setiap hari minggu dengan jarak tempuh yang cukup jauh adalah satu dari sederet rutinitas si naturalis ini. Dan jalur yang cukup extreme sering menjadi pilihannya, karena sembari bersepeda juga dapat bermain lumpur.

Dengan membangkitkan kecerdasan anak-anak naturalis melalui berbagai stimulasi, harapan ke depannya akan ada generasi penerus yang dapat bersikap ramah pada makhluk hidup dan alam sekitar.

Bagaimana dengan bocah-bocah di keluarga anda? Adakah yang mempunyai kecerdasan naturalis seperti si mas pesekolah rumah kami? Semoga dengan mengenal dan dekat dengan alam, mereka menjadi lebih sabar, rendah hati, selalu bersyukur dan sepenuh hati mencintai Tuhan penciptanya.


"Angin dan Daun adalah teman sekelas si naturalis. Air dan Lumpur adalah sahabat sehati. Batu, Gunung, Lembah, Hutan, Matahari, Bulan dan Bintang adalah energi. Jadi biarkan mereka bermandikan harumnya, biarkan mereka bertaburan cahayanya karena alam adalah jiwanya."


Kutai Kartanegara,
April 2021


 



Wednesday, March 10, 2021

Aku Tidak Sekolah, Itulah Jalan Ninjaku




"Aku tidak sekolah tapi aku belajar banyak hal yang aku suka dengan apa saja, bersama siapa saja, kapan pun dan dimana pun yang aku mau. Kelasku tanpa sekat, perpustakaanku alam tak berbatas, guruku semua yang mencerahkan dan mata pelajaranku adalah kehidupan yang terkadang tak selalu berjalan sesuai rencana."

    Tidak menitipkan anak-anak ke sekolah formal bukan berarti menjadikan mereka generasi tanpa pengetahuan, kecakapan rendah, pola pikir sempit dan sedikit hubungan. Justru sebaliknya, dalam tanggung jawab penuh pendidikan berbasis keluarga maka orang tua dengan luwes dapat berproses bersama membantu mereka menemukan karakternya. Pola pikir dan hubungan luas pun dapat terbentuk dari banyaknya pertemanan usia. Sedangkan untuk kecakapan dan ketrampilan hidup akan lebih terasah dengan seringnya berkegiatan bersama keluarga dalam kesekharian. 
    
    Memberikan aktivitas ketrampilan dengan bahan apa saja yang ada di sekitar tempat tinggal adalah pembelajaran semurah-murahnya yang berdampak positif. Selain dapat menumbuhkan kreatifitas, menambah ketrampilan hidup, bermanfaat juga agar mengerti bagaimana cara yang baik dalam mengatur pengeluaran. Sehingga lambat laun dapat memberi pemahaman bahwa membeli sesuatu itu yang dibutuhkan bukan yang diinginkan. 
 
    Dengan situasi yang dikondisikan sedemikian rupa maka belajar akan menjadi efektif. Karena anak-anak dapat belajar apa saja yang disukai dalam suasana yang menyenangkan tanpa paksaan, ancaman, apalagi derai air mata. Belajarpun bukan semata-mata untuk mengejar nilai. Belajar bukan hanya tentang akademik. Belajar itu untuk keluar dari kegelapan, mencari cahaya terang di ujung lorong dengan cara yang berbeda sesuai dengan keunikan masing-masing anak. 
    
    Dan karena belajar itu adalah dorongan dari dalam diri untuk memahami dan memahami apa yang ingin dipelajari bukan apa yang harus dipelajari, maka keinginan belajar dapat muncul dari dalam diri sehingga si pembelajar akan mencari sendiri apa yang ingin diketahuinya. Oleh karena itu, untuk membangkitkan inisiatif anak dalam belajar diperlukan lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang dimaksud bukan hanya tentang ruang, tempat tinggal ataupun suasana sekitar saja. Di mulai dari kenyamanan anak dengan orang tua yang lebih banyak bertanya pada anak daripada selalu memberi perintah, Arah bahkan keharusan melakukan sesuatu sesuai keinginan orang tua. Hal ini bertujuan untuk memberi anak kesempatan berinisiatif menyampaikan pendapatnya. Melalui bincang santai sambil berkegiatan, pertanyaan-pertanyaan ringan saat makan siang atau sambil bercerita menjelang tidur malam terbukti sangat efektif untuk menggali banyak hal tentang diri anak, keinginan dan kebutuhan mereka. 

    Ketika  mendapatkan kelekatan dengan anak-anak maka inisiatif mereka untuk belajar banyak hal akan mengalir begitu saja. Dengan hanya mencontohkan aktivitas keseharian keluarga, maka tanpa diperintah lagi mereka akan mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya. Tetapi tentu saja ini membutuhkan waktu dan satu kuncian yaitu sabar berproses. Semua bertahap dengan perjalanannya yang berkelok-kelok sesuai karakter masing-masing keluarga tentunya.
    
    Jadi meskipun ada beberapa keluarga yang memilih untuk tidak menitipkan anak-anak mereka di sekolah formal bukan berarti anak-anak tersebut menjadi tertinggal di banyak hal. Anak-anak dan para orang tua itu bertumbuh seiring dengan pembelajaran dalam keseharian yang di bangun tiap keluarga. 

     Itu sebabnya, bagi yang berada di luar jalur ini hendaknya tidak memandang sebelah mata pada anak-anak yang tidak pergi ke sekolah. Jaman telah berubah, di negara kita meski sebagian besar orang tua masih tetap mempercayai putra putri mereka pada sistem belajar konvensional tetapi tak sedikit yang mulai beralih ke jalur pendidikan alternatif ini. 
    
    Berbagai macam pemicu melatarbelakangi perpindahan tersebut. Begitu pula dengan beragam pencarian bentuk serta pola pembelajaran yang tepat pada saat  deschooling atau masa transisi dimana harus mengalami banyak keruwetan dalam peralihan dari sekolah formal ke homeschooling  . Jika anak-anak sangat elastis maka sebenarnya orang tua lah yang harus terlebih dahulu bersiap menjalani proses penyelamatan tersebut. 

    Dan dukungan penuh akan sangat dibutuhkan saat satu keluarga merasa nyaman dengan model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Tidak ada seragam dalam mendidik anak karena visi tiap keluarga tidak sama dan keunikan tiap pribadi berbeda-beda maka tidak boleh ada penghakiman bahwa model pendidikan  yang diselenggarakan satu keluarga tersebut sudah tepat ataupun belum. Karena dalam hal ini tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Semuanya kembali pada kebutuhan masing-masing keluarga. Biarlah mereka berproses mencari sistem terbaik dari sekian penjabaran yang ada. 
      
    Seperti dalam masa pandemi ini, tampaknya sedikit menguntungkan bagi para praktisi homeschooling, karena dengan adanya belajar dari rumah membuat banyak orang tua tertarik untuk memahami apa sebenarnya  homeschooling tersebut . Meski awal dari pemahaman keliru bahwa Belajar Dari Rumah sama dengan Sekolah Rumah, itu wajar. Dan saat mengetahui bahwa kedua hal tersebut ternyata sangat berbeda, setidaknya mereka sudah sedikit mengerti tentang apa itu alternatif pendidikan dengan tidak pergi ke sekolah. Kalaupun sampai banyak keluarga yang pada akhirnya memutuskan untuk beralih ke homeschooling, dapat dikatakan  pandemi telah menjadi salah satu  pemicu  besar terjadinya perpindahan jalur pendidikan. 
    
   Semoga dengan bentuk pendidikan apa pun untuk anak-anak kita, pilihan itu bisa menjadi satu sarana belajar yang membahagiakan.  serupa dengan beberapa keluarga yang memilih homeschooling sebagai kendaraan mereka menuju destinasinya.

“Aku tidak sekolah bukan karena ku tak mau, 
tapi karena aku ingin lebih dari sekadar bersekolah." 


Kutai Kartanegara,
Maret 2021