Friday, May 29, 2020

Saya Velocette, Saya Indonesia !




Senin pagi tanpa upacara bendera bukanlah satu rutinitas yang menjauhkan pesekolah rumah yang satu ini dari rasa cinta tanah air. Bukan pula membuatnya lupa tentang "Merah Putih". Ini malah membuat dia terus belajar mencintai negerinya, meski harus tinggal jauh di pedalaman Kalimantan Timur, di bawah rimbun pepohonan dan di atas rumput lembab hutan hujan, Sang Saka harus tetap berkibar. 

Satu hari di bulan penuh makna bagi bangsa ini, di Agustus dengan kabut asap yang mulai mengelilingi perkebunan, pesekolah rumah ini telah membuktikan cintanya pada tanah air. Dengan segala rutinitas pagi yang mengalir santai khas dari ritme kegiatan homeschooling, si bocah kelas satu Sekolah Dasar ini membuat bendera dari kantong plastik. Dia menggunting dan menempel kantong plastik warna merah dan putih dengan riang sembari bertanya mengapa warna bendera negaranya merah dan putih. Kemudian saya membantunya menjahit bendera tersebut sambil bercerita tentang bendera pertama yang dibuat oleh ibu Fatmawati, istri dari presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Sorot matanya tajam memandang saya saat bercerita tentang Merah Putih. Selang beberapa saat, diambilnya sebilah kayu ulin kecil panjang yang tergeletak di teras belakang untuk dijadikan tiang bendera. Setelah siap, digalinya lubang kecil di halaman depan. Dengan semangat dia tancapkan bendera kantong plastik tersebut dan memberinya hormat. 

Sedikit basah di ujung mata melihatnya seperti itu. Kelas Tanpa Sekat ini benar-benar membuatnya lebih percaya diri dengan begitu banyak ide di kepalanya yang bisa langsung tersalurkan. Seperti melihat film pendek tentang patriotisme saja tetapi ini nyata, tanpa saya meminta untuk berbuat demikian dengan kesadaran akan cintanya pada Indonesia lah yang sudah menggerakannya untuk tetap merayakan Hari Kemerdekaan di tengah sunyinya perkebunan kelapa sawit.

Keindahan dalam ber-homeschooling memang pada saat melihat si pesekolah rumah telah mampu mengupgrade dirinya tanpa banyak intervensi dari orang lain tak terkecuali orang tuanya. Ini merupakan ceruk yang terjadi saat menjalani sekolah konvensional atau saat mendelegasikan ananda pada orang lain, ide-ide dalam benak anak-anak terkadang kurang dapat terekspose maksimal karena terbentur keseragaman standar kurikulum yang cenderung kaku. Akan tetapi bukan berarti semua hal menjadi sangat sempurna saat ber-homeschool ria, banyak tantangan dan kegalauan juga yang harus dihadapi karena konsekuensi dari setiap pilihan sudah pasti ada.

Jadi apa saja kah "keruwetan" yang terjadi dalam Sekolah Rumah ini? Satu yang paling tampak adalah struktur yang sudah terjadwal sering kali terlewati karena beberapa hal klasik semisal jadwal pagi yang seharusnya olahraga kemudian mandi atau sebaliknya dapat terlewati karena tiba-tiba ada tamu atau ada hal lain yang harus dilakukan saat itu juga. Sangat wajar sekali karena memang penyelenggaraannya di rumah dan semua jadwal juga menyesuaikan dengan situasi dan kondisi rumah. Solusi dari hal-hal semacam ini adalah menggeser jadwal kegiatan yang terlewati tersebut atau dapat pula memindahkan jadwalnya di lain hari. Semua sangat fleksibel dan itu sering terjadi dalam kehidupan karena kita bukannya robot. Disinilah anak-anak belajar tentang hidup, bagaimana mencari solusi dari satu permasalahan sekecil apapun itu. Selain jadwal yang sudah tersusun rapi dapat berubah sewaktu-waktu, apa yang dipelajari anak-anakpun terkadang acak saja sesuai keinginan anak pada saat itu. Di sini lah orang tua sebagai pendamping di tuntut untuk selalu mengawal apapun yang sedang dipelajari anak-anak mereka. Jika di rasa sudah terlalu curam jalan yang ditempuhnya maka dapat sesegera mungkin menggiringnya kembali ke lintasan yang benar. Untuk orang tua yang pembelajar, hal-hal di atas adalah tantangan yang mengasikkan dan bukanlah satu hal yang harus di perdebatkan dan menjadi keluh kesah berkepanjangan.

Jadi bagi orang tua yang sedang atau sudah mulai tertarik tentang kehidupan homeschooling jangan lah hanya melihat yang asiknya saja karena ada banyak tikungan tajam yang perlu ditaklukkan. Ada pula jalanan berbatu yang perlu di perbaiki perlahan. Sebagaimana pesekolah rumah saya yang sedang berjuang meraih mimpi besarnya. Bermukim dalam hunian nun jauh dari keramaian, bermain, belajar dan berkarya dalam keterbatasan. Inilah tantangan tersendiri untuk keluarga homeschooling saya saat sekarang. 

Seperti cerita hari ini, tampaknya hanya kegiatan kecil membuat bendera dari kantong plastik, tapi saya dan si bocah memaknainya sangat dalam. Suatu hari pesekolah rumah ini akan bertumbuh dan mengingat apa yang telah dikerjakannya di satu hari di pertengahan Agustus. 

"Saya Velocette, Saya Indonesia !" 












Tuesday, May 19, 2020

Bukan Black Borneo


Bersama dalam sunyi, berkegiatan dalam sepi. 
Merasakan segala manfaat angin, air dan tanah minim polusi. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas, truk pengangkut hasil panen kelapa sawit, itupun tidak setiap hari akan lewat depan rumah. Suara-suara di sekitar akan riuh kala anak-anak mulai berkegiatan di sore hari selepas sholat ashar. 

Anak-anak matahari khatulistiwa ini berasal dari suku, agama, dan adat budaya yang berbeda-beda. Indah bukan, mereka berkumpul dalam satu waktu bermain dan belajar mencintai sesamanya. Berharap kelak mereka dewasa akan tetap seperti ini, tetap ber-Bhinneka Tunggal Ika, tetap saling
menghormati juga menghargai perbedaannya. 

Bahasa yang mereka gunakan memang bahasa Indonesia tetapi dengan dialeg yang bercampur dengan bahasa daerah setempat. Inilah, gambaran tanah air tercinta kita, semua dapat berbaur dalam satu kesatuan yang jika terus di pupuk maka akan tetap teguh bersatu. 

Dalam jalan cerita di bagian ini, saya merasa sangat beruntung karena anak saya berada di lingkungan yang beragam. Belajar mengenal banyak suku dengan adat dan agama yang berbeda pula. Dia mulai paham bagaimana harus menghargai bahwa temannya yang bersuku Batak, Dayak, Toraja dan Maluku yang beragama nasrani harus pergi beribadah minggu di gereja. Sebaliknya teman-temannya akan duduk menunggu anak saya saat sedang menjalankan ibadahnya di masjid untuk kemudian berkegiatan bersama. Pelajaran penting untuk kerukunan antar umat di dunia ini yang tidak hanya di pelajari dari buku saja tentunya. 

Kelas Tanpa Sekat memang belajar tentang hidup dan life skills. Karena dalam mendidik anak bukanlah hanya tentang kecenderungan pada mata pelajaran saja. Pendidikan itu jauh lebih luas, sebagaimana yang dapat kita pelajari di channel Tanam Benih Parenting tentang dasar pola pikir besar dalam mendidik dan mendampingi anak-anak. Ada satu catatan penting yang saya pelajari di mana UNESCO di tahun 1999 menyatakan bahwa Four Pillars of Education  dalam mendidik anak-anak itu adalah, pertama, Learning to Know yaitu belajar untuk mengetahui, bagaimana mendidik anak dengan pengetahuan, memberikan pengetahuan-pengetahuan kognitif yang menginformasikan tentang segala ilmu dunia dan komplesitasnya. Yang kedua adalah Learning to Do yaitu belajar untuk melakukan, ini adalah belajar melatih berbagai macam ketrampilan pada diri anak karena semakin anak mempunyai banyak ketrampilan maka anak-anak akan semakin baik hidupnya dan percaya diri. Dan yang ketiga adalah Learning to Live Together yaitu belajar untuk hidup bersama. Ini adalah mengajarkan mereka bagaimana berempati pada orang lain dan bagaimana bisa berdiskusi dengan baik serta ngobrol dengan baik meski dengan lintas usia. Terakhir, yang ke empat adalah Learning to Be yaitu belajar menjadi. Ini adalah bagaimana mendidik anak-anak mengembangkan dirinya menjadi manusia yang berkepribadian kuat. 

Di kaki saya berpijak, di pulau yang berhawa panas, Borneo, saya dan keluarga sedang belajar tentang empat pilar penting dalam mendidik anak tersebut. Learning by doing di setiap harinya, semua berproses dalam dekapan alam indah tanah Khalamanta. Ini yang saya syukuri karena dengan menyelenggarakan homeschooling semua goals dalam keluarga dapat tersusun rapi. 

Tetapi bagaimana dengan teman-teman kecil di sekitar ?
Sekalipun di sini, bukan lagi daerah terpencil tanpa sarana pendidikan, tetapi di sini adalah Indonesia dengan fasilitas pendidikan yang terbatas meski semua telah terjamah teknologi. Anak-anak usia sekolah dan keluarga mereka masih sangat membutuhkan sentuhan pendidikan yang jauh lebih baik lagi.

Datang, dan lihatlah hamparan tanah oranye, lantai bagi kehidupan di bumi Bukan Black Borneo .... 
Ada keluarga homeschooling saya yang berharap semua teman-teman kecil di sini dapat pula merasakan arti Merdeka Belajar seutuhnya. 











Monday, May 11, 2020

Kelas Tanpa Sekat vs Ibu Rumah Tangga

Pernah di satu masa saya terbawa arus pemikiran yang belum sempurna. Rumus yang terbentuk turun temurun dalam lingkaran sosial bernama masyarakat bahwa jika perempuan sudah sekolah tinggi dan mencapai gelar sarjana, selepas itu haruslah bekerja. Dengan beberapa alasan dominan yang seakan menjadi dosa besar saat perempuan berpendidikan tinggi memilih untuk tidak berkarir.

Sedangkan dalam pemahaman saya pribadi bahwa perempuan yang bersekolah sampai level tertinggi sekalipun kalau memang pada ujungnya dia memilih akan menjadi seseorang yang tidak bekerja di luar rumah, ilmu yang dia dapat adalah bekal dengan menu sehat untuk mendidik anak-anak dan keluarga mereka saat sudah menjadi ibu, tidak ada kerugian apapun didalamnya. Eksistensinya semakin bersinar, karena berproses menjadi wanita terpelajar yang juga pendidik keluarga.

Ada satu kutipan dari Tere Liye seorang penulis novel yang beberapa karyanya pernah diangkat ke layar kaca. Tulisannya tentang ibu rumah tangga seakan menguatkan bahwa pemahaman saya selama ini tidaklah salah. "Ketika seorang ibu rumah tangga menghabiskan waktu mengurus keluarga, anak, suaminya, maka jangan tatap masa-masa berlalu cepat dan ibu itu hanya begitu-begitu saja di rumah, malah semakin menua. Tapi tataplah anak-anaknya yang tumbuh besar, jadi anak-anak keren. Tataplah suaminya yang berkembang mengagumkan, menjadi orang-orang yang hebat. Itulah hakikatnya seorang ibu rumah tangga, tidak dilihat dari dirinya. Tapi dari orang-orang yang dia cintai di sekitarnya."  

Dan saya, SAAT INI, di takdir manis sedang menjalani "dosa besar" yaitu murni menjadi ibu rumah tangga yang di rumah saja. Mengapa saya tekankan saat ini, karena di sekitar belasan tahun silam saya adalah perempuan yang bekerja di luar rumah. Di mulai dari 1998 saat saya masih belum mendapatkan gelar sarjana pun sudah mulai menjalani masa-masa menjadi seorang yang bekerja. 

Apakah saat itu saya bahagia? Ya dan Tidak. Ya, karena setidaknya saya sudah melakukan apa yang menjadi "keharusan" menurut masyarakat. Tidak, karena ternyata saya belum bebas untuk menjadi diri sendiri. Sampai pada takdir, Dia Yang Maha Asik, begitulah kata Sudjiwo Tedjo, memang benar-benar Maha Asik. Karena tanpa disadari telah menggiring hidup saya berproses menjadi Ibu Rumah Tangga yang merdeka menjadi diri sendiri. 

Jika sebelumnya saya merasa menjadi Seniman Bayangan memang hambar, saya gunakan istilah tersebut karena lulusan sekolah sastra tetapi belum juga menghasilkan karya sastra. Saya memang pernah menjadi staff pengajar di beberapa lembaga pendidikan dan akademi bahasa, saya yang juga penyuka seni dalam bentuk apapun sudah pula menggunakan jari jemari untuk membuat beberapa karya yang menghasilkan uang tetapi entahlah seperti ada sesuatu yang mengganjal dan belum terlaksana.

Sampai pada satu waktu telah membawa saya menjadi praktisi homeschooling dengan segala seni nya pula. Kemudian berawal dari percakapan singkat di kolom komentar satu akun media sosial milik bapak Lukman Hakim, "Kepala Suku" anak-anak Homeschooling Sekolah Dolan - Malang untuk menuliskan kegiatan bocah saya di majalah Sekolah Dolan. Entah mengapa saat tiba di persimpangan, saya mantap berbelok melanjutkan tantangan tersebut dengan membuat buku non fiksi yang Alhamdulillah sudah siap di baca oleh semua kalangan. 

Kelas Tanpa Sekat yang saya selenggarakan di tengah luasnya perkebunan kelapa sawit ini telah meng-upgrade diri saya, seorang Ibu Rumah Tangga biasa, salah satu profesi membanggakan dari sekian banyaknya profesi hebat di dunia. Saya bersyukur dapat terus "bekerja" mengamalkan ilmu selepas menjadi sarjana meski hanya dari rumah saja. Karena homeschool mom itu juga adalah teacher, cook, gardener, housekeeper, nurse, fashion coordinator, photographer, video editor dengan tanpa menghilangkan keanggunan seorang Mother. Saat kemudian bermetamorfosis menjadi pemula dalam hal menulis yang memang tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya merasa inilah satu ganjalan yang selama ini berusaha saya temukan. Ternyata tersembunyi dalam lorong masa depan.

Inilah satu dari sekian hal menakjubkan yang terjadi di balik keberadaan Kelas Tanpa Sekat di gelapnya hutan hujan Kalimantan Timur. Perubahan saya dan keluarga ke arah jalan hidup yang semakin banyak kelokan tajam, tebing curam dan tanjakan licin tetapi membahagiakan ini pasti karena offroad untuk sebagian orang memang memicu adrenalin, tak terkecuali keluarga saya. 

Untuk itu terima kasih atas dukungan penuh cinta dari suami dan si bocah pesekolah rumah di banyak hal yang terjadi dalam proses upgrade diri saya.

Penampakan sampul buku perdana saya sebagai satu momen pembebasan diri dari belenggu doktrin sosial selama ini. 

Dan jika tertarik untuk membaca buku Velocette, Homeschooler dari Tanah Hulu dapat langsung chat di whatsapp 081217143366 atau "meninggalkan jejak" di kolom komentar. 



Sunday, May 10, 2020

Pertolongan Pelepah Sengkleh


Berjalanlah, bergeraklah, bernafaslah yang dalam.
Hirup dan hembuskan perlahan, rasakan damainya hidup bersama daun dan angin.



Tidak ada yang sia-sia saat kita mantap memilih jalan berkelok sekalipun, karena di hampir setiap kelokan sesekali akan ada rest area untuk sejenak menyegarkan tubuh. 
Sama halnya setelah memutuskan memilih jalan menjadi keluarga Homeschooling, saya menjadi seorang yang "berbeda". Yang sebelumnya selalu surfing di toko-toko online berburu barang-barang antik atau peralatan dapur tiba-tiba beralih menjadi penggemar situs project for kids, how to start homeschool, how to be a homeschool mom dan tentu saja parenting sites.
Isi kepala hanya bagaimana merancang keseruan bersama si bocah dalam kegiatan Sekolah Rumah, karena akan ada hari-hari yang panjang bersamanya dari bangun pagi sampai senja menjelang dan malam terbentang untuk mengistirahatkan penghuni dunia. 
 Kesenangan baru itu membuat saya lupa bahwa persiapan mental adalah yang utama dan ketenangan hati serta pikiran adalah bekal bagi para pemula dalam penyelenggaraan Sekolah Rumah, mindset juga harus pelan-pelan di geser, belajar itu bukan hanya melulu tentang akademis tetapi ada banyak hal lain yang ternyata lebih penting yaitu karakter dan life skills. Semua itu perlu yang namanya kesabaran dalam berproses, tidak instan tiba-tiba terlihat hasilnya dalam sepersekian hari.

Di awal Ramadhan 2019, cuaca hangat cukup membantu saya menetapkan inilah hari pertama memulai kegiatan Homeschooling. Jadwal sudah tersusun rapi, dengan harapan akan dapat terpenuhi sesuai dengan keinginan hati. Dan karena berada di perkebunan itu terkadang serasa mempunyai pulau sendiri yang di tumbuhi beraneka anggrek liar, tanaman paku raksasa, dan di huni oleh bermacam spesies serangga juga burung-burung berparuh kuning, maka eksplorasi alam akan sangat menyenangkan untuk dijadikan menu sehari-hari apalagi si bocah adalah anak yang lebih suka bergerak daripada duduk diam memandang gawai.


Kegiatan seharian untuk kali pertama itu mengalir perlahan, pagi diawali dengan jalan menyusuri blok-blok perkebunan. Tracking yang membuat tandon mood bahagia terisi penuh. Manfaatnya bukan hanya dapat menghirup segarnya aroma daun berembun tetapi juga dapat belajar tentang alam, tentang rasa syukur, tentang menguatkan kaki, otak dan seluruh raga. Sembari berjalan obrolan bergulir meluas, tidak hanya seputaran mengagumi warna oranye tanah perkebunan saja tetapi sampai jauh mengenai proses terbentuknya limbah cair yang dihasilkan dari sisa pengolahan kelapa sawit. Percakapan yang terlalu tinggikah untuk anak berumur 6 tahun 10 bulan pada saat itu? Tidak, karena itu terjadi dari rasa ingin tahu si bocah sendiri bukan belajar karena di minta untuk mempelajarinya.

Di beberapa waktu setelahnya perjalanan pagi mengeksplor alam memang menjadi menu yang di tunggu, paru-paru semakin segar karena tidak berjalan di antara hingar bingar asap berpolusi dari knalpot kendaraan yang sibuk dengan aktifitas mengantar tuan-tuannya sampai ke tempat tujuan.


"Pagi hari di bawah matahari khatulistiwa, di antara pelepah-pelepah sengkleh pohon kelapa sawit tua, di kelilingi suara-suara satwa di balik rimbunnya flora dan kepak sayap burung bubut coklat muda memang serasa berada di Isla Sorna tempat Dinosaurus bertahta."





Thursday, May 7, 2020

Alam Adalah Rumah Hangat

Pertama kali saya mendengar istilah Homeschooling itu di sekitar tahun 1996 pada saat beberapa anak dari public figure tanah air mulai menyelenggarakannya. Anak-anak tersebut bergabung dalam satu komunitas Homeschooling yang ada di ibukota. Dan kemudian di tahun 2005 semakin menjadi alternatif pendidikan di kalangan masyarakat kota besar dikarenakan pendidikan formal yang di rasa cenderung stagnan.

Padahal setelah saya banyak belajar tentang pendidikan berbasis keluarga ini, Homeschooling sudah ada di sekitar tahun 1960-an di Amerika Serikat. Berkembang atas gagasan seorang pengajar yang bernama John C. Holt. Dasar dari pemikiran Holt ini adalah pembebasan cara berpikir instruktif yang dikembangkan di sekolah-sekolah formal. Sedangkan anak-anak adalah pembelajar yang secara mandiri akan belajar tanpa diminta bahkan dipaksa jika anak-anak tersebut diberi kebebasan memilih apa yang ingin dipelajari sesuai dengan apa yang menjadi minat mereka. Dengan diberi fasilitas, sarana dan berbagai sumber belajar maka mereka akan berkembang dan dapat meng-upgrade diri mereka sendiri tanpa banyak intervensi dari orang lain.

Dan sebagaimana biasanya, sesuatu yang baru pasti akan di anggap asing atau aneh, seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang begitupun dengan awal keberadaan Homeschooling. Sebagian masyarakat menganggap ini sebagai satu pemahaman yang tidak wajar karena pada umumnya orang tua akan mendelegasikan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan dalam hal ini Sekolah Formal. Sedangkan Homeschooling memiliki konsep berbeda yaitu belajar mandiri di rumah yang kemudian lebih di kenal dengan istilah Sekolah Rumah meski pada kenyataannya bukanlah memindahkan sekolah ke rumah karena struktur yang ada di sekolah tidak mungkin bahkan tidak bisa untuk diterapkan dalam rumah. 

Tuesday, May 5, 2020

Membuka Pintu Petualangan

Menapaki jalanan tanah liat perkebunan.

Apa yang anda pikirkan tentang perkebunan kelapa sawit? Ya, satu area luas dengan tumbuhan kelapa sawit menjulang yang berjajar rapi, berhawa sejuk dan beraroma daun basah dengan lalu lalang bapak-bapak pemanen dan ibu-ibu penabur pupuk di pagi hingga sore hari. Kemudian saat malam tiba semuanya akan menjadi sunyi tanpa aktifitas apapun, hanya alam dan hewan nocturnal yang menguasai dalam kegelapan. Lantas bagaimana dengan rumah-rumah penduduknya? Bagaimana pula dengan kehidupan anak-anak usia sekolah yang ada di sekitarnya? Saya akan memulainya dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga dengan satu orang anak yang sedang menjalani keseharian di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di hutan hujan kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.