![]() |
Menapaki jalanan tanah liat perkebunan. |
Apa yang anda pikirkan tentang perkebunan kelapa sawit? Ya, satu area luas dengan tumbuhan kelapa sawit menjulang yang berjajar rapi, berhawa sejuk dan beraroma daun basah dengan lalu lalang bapak-bapak pemanen dan ibu-ibu penabur pupuk di pagi hingga sore hari. Kemudian saat malam tiba semuanya akan menjadi sunyi tanpa aktifitas apapun, hanya alam dan hewan nocturnal yang menguasai dalam kegelapan. Lantas bagaimana dengan rumah-rumah penduduknya? Bagaimana pula dengan kehidupan anak-anak usia sekolah yang ada di sekitarnya? Saya akan memulainya dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga dengan satu orang anak yang sedang menjalani keseharian di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di hutan hujan kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Beberapa tahun yang lalu, saat pertama kali saya menapakkan kaki di tanah liat oranye perkebunan kelapa sawit yang jarak tempuhnya kurang lebih 6 jam dari kota terdekat, saya merasa berada dalam satu film bergenre petualangan fiksi ilmiah yang pertama kali di rilis tahun 2015, yaitu Jurrasic Park. Jauhnya perjalanan menuju lokasi perkebunan dengan ditambah pemandangan hutan di sekelilingnya membuat perasaan bercampur aduk. Tetapi kemudian rimbun pepohonan dengan suara-suara binatang hutan yang masih asing di telinga saya itu seakan memberi tanda bahwa mereka adalah sahabat yang akan menemani dalam setiap keadaan. Saya mulai menikmatinya.
Jika sebelumnya membayangkan akan begitu sunyi suasana di perkebunan maka kondisi yang ada sebaliknya. Pagi hari saat kabut hutan masih menyelimuti, dimana itu adalah waktu yang paling tepat untuk bersyukur bahwa semesta sudah memberi begitu banyak keindahan. Perlahan matahari menghangatkan setiap raga para penghuni perkebunan. Kegiatan pagi dengan berbagai ritmenya membangunkan segala penat malam. Dan ternyata di tengah hamparan perkebunan luas ini ada satu kehidupan yang tersembunyi.
Deretan rumah-rumah karyawan perkebunan dengan warna senada akan mulai tampak berdendang saat matahari mulai tinggi. Anak-anak mereka sudah rapi berseragam dan mulai berlarian mengejar bis sekolah yang di sediakan oleh perusahaan dimana orang tua mereka bekerja. Bis itu yang akan mengantarkan mereka menuntut ilmu dengan perjalanan yang berkelok kelok menyusuri blok-blok perkebunan. Jika harinya hujan terkadang bis sekolah tidak dapat melewatinya karena begitu licinnya jalanan, duka bagi sang penuntut ilmu karena harus berdiam di rumah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Untuk beberapa anak karyawan dengan level staff mungkin bukan masalah karena orang tua mereka biasanya akan mengirim ke sekolah-sekolah asrama atau pondok pesantren yang ada di perkotaan. Tetapi untuk anak-anak pemanen hanya bisa menerima keadaan selama bertahun-tahun dan hanya berharap suatu hari nanti mereka akan dapat bersekolah di tempat yang lebih baik.
Tetapi di balik derasnya hujan angin dan petir pasti ada satu rumah untuk menghangatkan diri dengan berbagai cerita menariknya. Cerita itu berawal di sini, di rumah dinas perkebunan yang di kelilingi pepohonan sawit dengan suara riang burung-burung, katak, jangkrik dan tentu saja di selingi dengan gemeretak gigi-gigi tupai yang selalu berlarian hilir mudik tak kenal lelah. Kisah yang di awali dari hasil pemikiran mendalam tentang pentingnya pendidikan yang di awali dari rumah karena sejak seorang anak lahir ke dunia, dia adalah pembelajar mandiri dan orang tua adalah guru alaminya. Jadi apa susahnya jika semua itu di lanjutkan hingga anak tersebut mencapai tahap dia dapat membuat keputusan sendiri bahwa dia akan "keluar rumah" untuk mencari guru lain. Apalagi untuk anak dengan pola pikir yang out of the box memang di butuhkan alternatif pendidikan yang sesuai dengannya.
Saya dan suami melempar alternatif tersebut ke dalam pemikiran anak kami, mendiskusikannya dengan bahasa sederhana. Mengemasnya dalam bentuk menarik dan membebaskannya untuk memilih. Kemudian kami memperoleh jawaban, keputusan yang di ambil sendiri oleh seorang anak berusia 7 tahun yaitu mengiyakan untuk menjalankan Homeschooling di tengah perkebunan kelapa sawit.
Pintu petualangan terbuka lebar, menyambut kami dengan hembusan angin segar beraroma dedaunan pagi. Seakan berkata, selamat datang, selamat berpetualang, jangan lupa kencangkan ikat pinggang dan bawalah bekal.
Ikuti terus lanjutan kisahnya di unggahan-unggahan berikutnya.
Keren.. ditunggu lanjutan ceritanya buukkk..
ReplyDeletefuuuhihii ... Makasiiihh, di tunggu yaaa
Delete