Tuesday, December 29, 2020

Kepompong Khalamanta



Kami adalah keluarga yang dalam menjalankan homeschooling ini masih ibarat seekor ulat kecil berwarna hijau. Menetas dari telur kupu-kupu berwarna terang yang menyukai hangatnya mentari jam sembilan pagi. Sebagai ulat kecil kami sangat ingin mengetahui apa saja yang ada di sekitar tempat tinggal kami. Semua daun yang terlihat segar kami makan tak bersisa. Itulah yang membuat kami tidak berhenti di satu pohon, selalu ingin mencoba berpindah tempat karena begitu menariknya dedaunan di sekeliling. 

Padahal jika mengingat saat kami masih dalam cangkang telur, semua tampak sama, semburat
warnanya pucat sekali. Keadaan kami pada waktu itu tergantung pada daun yang kami tumpangi, jika tertiup angin ke kiri maka kami pun akan ikut bergoyang ke arah kiri. Saat datang hujan badai, kami pun akan merasakan betapa kuat hempasan anginnya. Dan jika matahari sedang terik, kami pun akan merasakan gerah yang luar biasa. Kami belum punya pilihan harus bagaimana mengatasi berbagai keadaan yang datang silih berganti. 

Kemudian tiba di hari kami akan menetas, terlihat retak-retak kecil pada sebagian cangkang sehingga kami mulai bisa mengintip dari celah sempitnya. Sekilas banyak sekali warna indah dengan sinar jingga yang sangat terang. Tercium aroma tumbuhan, ada semilir angin masuk melalui retakan yang semakin mengangga sewaktu terdorong. Saat itu rasanya kami ingin sekali segera keluar dari himpitan sang cangkang.  

Dan di pagi buta kala itu ...
KRAKKKK!!!
Pecahlah belenggu cangkang. Waaahhh di luar begitu segar. Mata kami membelalak melihat alam begitu megah. Warna warni indah sekali, ada dedaunan yang basah menghijau tertutupi embun di sepanjang mata memandang, ada aroma bunga-bunga dan ada pula suara-suara alam. Segera kami berjalan untuk menjelajah sekitar. Meski cara berjalan kami masih lambat tapi bisa melihat dunia luar itu sangat menyenangkan. 

Kemudian, ulat-ulat kecil yang setelah beberapa waktu lalu keluar dari cangkang telur itu sekarang mulai menggeliat untuk bisa berjalan cepat mencari dedaunan segar karena itu membuat perut kami selalu lapar. 

Dari sinilah siklus hidup ulat-ulat kecil di mulai. Dimana selalu berharap bahwa fase yang akan dilalui dapat menjadi metamorfosa sempurna. Tetapi kami masih seekor ulat yang belum berani berandai-andai untuk menjadi kupu-kupu cantik. Harapan untuk menjadi kepompong saja masih harus melalui beberapa tahap. Karena sebagaimana ulat, kami akan mengalami pergantian bulu sekitar 5 atau 6 kali untuk kemudian kami akan menjadi kepompong. 

Jadi kami akan menikmati dulu menjadi seekor ulat yang berpetualang dalam sunyi rimba pulau terbesar di Indonesia ini. Seperti halnya keluarga terdahulu kami yang juga menjadi penghuni Khalamanta atau yang sekarang lebih di kenal dengan nama Kalimantan. Pulau dengan hutan hujan megah yang dijadikan sebagai salah satu paru-paru dunia.  

Keluarga besar kami adalah kupu-kupu tangguh dari tanah Jawa yang berpetualang di pulau berhawa panas ini sejak puluhan tahun yang lalu. Untuk kemudian kami pun dalam takdir indah mengikuti jejak mereka di tarik oleh pesona air sungai Mahakam yang mengandung "pelet" sehingga kami pun menuliskan jurnal kehidupan di pulau ini. Babak yang serupa tapi sebenarnya berbeda dari pendahulu kami. 

"Menjadi Kepompong Khalamanta adalah jalan yang harus kami lalui sesaat lagi."

Jika sampai waktunya, kepompong akan memberikan kamuflase untuk melindungi ulat yang sedang bermetamorfosis. Kebanyakan ulat akan membuat kepompong mereka di lokasi yang tersembunyi, seperti bagian bawah daun, di pangkal pohon, atau di cabang kecil.

Nantinya tidak akan ada istirahat di dalam kepompong. Ada banyak hal yang dilakukan di dalamnya. Dalam fase ini mengharuskan tubuh ulat yang lama dipecah untuk berubah menjadi makhluk baru. Dan pada beberapa jenis ulat, prosesnya bisa memakan waktu yang sangat lama. Harapan besarnya ketika sudah berada dalam rajutan kepompong yang penuh aktifitas itu, kami tetap tenang dan benar-benar dapat mempergunakan waktunya dengan sebaik mungkin.  

Ketika saat yang di tunggu tiba, barulah akan ada kupu-kupu cantik yang bersiap untuk keluar dari rajutan rumah kepompongnya. Sungguh proses menakjubkan yang dipersembahkan semesta.

  
Oleh karena itu "Dalam situasi apapun, jangan biarkan emosimu mengalahkan kecerdasanmu." 
-BUYA HAMKA- 

 










 






Monday, December 21, 2020

Homeschooling itu "Belantara"


Akhir-akhir ini saya melihat banyak sekali pro kontra tentang apa itu homeschooling. Dari penjabaran tentang cara menyelenggarakannya sampai metode dan kurikulum apa yang sebaiknya digunakan. Boom!!! Membuat saya berpikir apa yang saat ini saya dan keluarga jalani sudah tepat? Kok jadi meresahkan. Saya takut pendidikan si pesekolah rumah saya gagal. Kekhawatiran yang wajar terjadi, untuk itu haruslah secepatnya mencari pencerahan. Meski semakin banyak berselancar untuk mendapatkan bermacam informasi itu pastinya akan semakin membuat bimbang tetapi tetap saya lakukan. Bertukar pikiran dengan sesama homeschool mom dan mengikuti berbagai bentuk community sharing tentang pengalaman-pengalaman keluarga mereka dalam menjalankan homeschooling adalah pembelajaran untuk menemukan titik cerah yang saya cari.

Dan di satu pagi dengan aroma khasnya alam pedalaman saya memasak sambil sesekali memandang hujan deras dari jendela dapur. Mengingat setelah sekian waktu di tengah pusaran rumit soal cerita yang saya ciptakan sendiri ini belum kelar juga, sepertinya lebih baik memutuskan untuk tidak perlu menemukan jawaban apakah homeschooling  yang saya dan keluarga selenggarakan ini sudah tepat atau belum. Kembali saja ke proses awal, ikuti saja ritmenya, dampingi saja semua aktifitasnya. Sesederhana itu? Ya, kalaupun harus belajar dengan banyak buku tidak masalah, tanpa buku dan tidak menghafal apapun tak mengapa, model yang terstruktur maupun tidak, dengan atau tanpa metode, apapun itu bentuknya yang penting si pesekolah rumah menikmati kegiatannya. 

Karena saat memasuki homeschooling zone maka kita seakan berada di tengah belantara. Yang dibutuhkan adalah insting kuat dan mental baja untuk tetap tenang dalam menentukan arah agar dapat menemukan jalan mana yang paling nyaman untuk dilalui menuju tempat yang kita inginkan. Untuk itu bawalah bekal secukupnya, meski nanti di tengah jalan perbekalan menipis janganlah terlalu khawatir, di belantara ada beribu macam cara untuk mendapatkan sesuatu untuk di makan dan di minum karena alam telah sangat berbaik hati menyediakannya. Khawatirlah jika perbekalan terlalu banyak bisa-bisa beban di punggung malah menghambat laju perjalanan.

Pencerahan di tengah derasnya hujan di bulan-bulan penghujung akhir tahun telah memberi lonjakan semangat baru bahwa homeschooling adalah satu keyakinan dari sebuah keluarga yang ingin menghantar anak-anak mereka dengan cara berbeda di tiap-tiap rumahnya. Jadi biarlah di luar sana sedang mempermasalahkan definisi, bentuk dan metode yang seharusnya digunakan. Kembalikan saja kepada kebutuhan keluarga sendiri, yang mengikuti arus hanyalah ikan mati. 

Untuk semua keluarga homeschooling, teruslah belajar, bukalah pola pikir seluas mungkin, gali potensi kekuatan keluarga sedalam-dalamnya. Hempaskan semua keraguan dan pikiran negatif serta ketakutan-ketakutan yang dapat menjegal langkah kita. Bersiap selalu dengan segala kemajuan teknologi sehingga dapat mendidik anak-anak kita sesuai dengan jamannya. 

Karena di dunia ini "Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil." 
-BUYA HAMKA-
















Wednesday, October 21, 2020

Kutai Kartanegara & Nim's Island


Memandang hasil tangkapan dari kamera smarphone inilah yang dapat menggambarkan mengapa saya jatuh cinta pada tempat sunyi meski harus sering bertemu dengan banyak spesies serangga yang selalu saya takuti, Tanah Hulu. Tempat bernaung dari segala macam rasa. Tempat aman bersembunyi dari hiruk pikuk kota. Tempat berteduh dari segala susahnya berjalan di keramaian dunia. Dan disinilah tempat saya duduk terdiam memandang kagum akan ciptaanNya. 

    Saya, dengan semua kekurangannya, bersyukur selalu dapat menjadi produktif di "Negri Dongeng" Kutai Kartanegara ini, meski di "Bumi Biru" Malang pun tetap pula berusaha seproduktif mungkin. Semua itu karena menjadi modern mom  setidaknya bisa menghasilkan sesuatu yang suatu saat nanti dapat di kenang, sekalipun oleh diri saya sendiri. Bersyukur pula karena Dia telah membawa saya dalam takdir terbaik, membersamai ananda dalam semua rutinitasnya. Melihat dia bertumbuh di Kelas Tanpa Sekat, Homeschooling yang sedari awal penyelenggaraannya tidak mengacu pada metode apapun, hanya terstruktur agar ananda selalu disiplin tetapi dijalani sealamiah mungkin sebagaimana lingkungan sekitarnya.

    Untuk kemudian menjadi sangat sering melakukan Lintas Alam adalah karena arus ritme keseharian yang memang tinggal di tengah perkebunan yang bersinggungan langsung dengan hutan. Kondisi saat ini rasanya seperti film Nim's Island yang pernah saya tonton di tahun 2008. Waktu itu saya suka sekali melihat film adventure ini. Film yang bercerita tentang Nim, seorang anak perempuan kecil yang mengikuti orang tuanya melakukan penelitian di tengah laut. Pada penelitian tersebut kapal yang mereka gunakan untuk berlayar terlalu dekat dengan kerumunan paus. Saat terjadi ombak besar, paus-paus itu pun menyerang mereka dan ibu Nim terseret oleh paus tersebut. Menghilang dan tidak kembali lagi. Nim dan ayahnya sangat sedih dan bertekad akan mengelilingi lautan di bumi untuk menemukan ibunya. Namun mereka malah terdampar di pulau tak berpenghuni. Akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di pulau tersebut. Kemudian Nim mulai berteman akrab dengan hewan-hewan di pulau tersebut. Interaksi dengan orang luar hanya dilakukan kepada kapal barang yang terkadang mereka temui. Kapal barang tersebut memasok keperluan sehari-hari, termasuk buku bacaan. Ya, pada akhirnya Nim menjalani homeschooling di tengah pulau terpencil dengan segala yang berakar pada alam.
    
    Dan saya ingat sekali saat menonton film tersebut saya membayangkan pasti nyaman sekali berada di tengah alam sambil belajar segala hal meski tanpa bersekolah formal. Berkegiatan bersama angin, daun, air, dan bintang di malam hari sungguh satu hal yang waktu itu hanya ada dalam bayangan saya. Dan ternyata Dia membawa saya dalam heningnya Tanah Hulu dengan rutinitas bersama ananda di segala kegiatan yang berujung dengan Nature Walk. Semua mengalir begitu saja bahkan saat rasa jenuh yang juga terkadang singgah, terapinya pun menyatu dengan alam yaitu Forest Bathing. Blusukan di celah-celah daun dan rimbunnya pepohonan untuk menghirup aroma murni hutan hujan tropis memang tidak tertandingi. Tidak ada liburan lain yang saya inginkan selain kembali ke alam meski setiap detik berada dan hidup di tengah derasnya hujan di hari-harinya hutan hujan ini. 

 Itulah mengapa jika ada yang bertanya kenapa betah sekali di perkebunan, jawabnya karena saya jatuh cinta pada alamnya. Ya, Kutai Kartanegara & Nim's Island adalah sekilas bayangan yang menjadi kenyataan. Thanks God. 



    
       
    



Sunday, July 5, 2020

Kejora Bukan Pamer Kerlip

 
Menjadi keluarga homeschooling itu seharusnya memang dapat menginspirasi karena sebagaimana langit malam yang cerah bertaburan bintang ada satu cahaya berbeda dengan ukuran dan terang yang mempesona. Itulah keluarga homeschooling, kejora di langit malam tanpa mendung menutupi. 

Dengan semakin giatnya kehidupan bersosial media adalah satu kesempatan emas untuk "tampil". Bukan untuk pamer keseharian keluarga yang terkadang membuat kejutan tersendiri bagi yang masih awam tetapi bertujuan mensosialisasikan tentang homeschooling, unschooling, school at home, home base education atau apapun istilahnya. 

Keseharian anak-anak homeschooling bukan lah tanpa jadwal, mereka mempunyai rutinitas sendiri sesuai kebutuhan masing-masing. Situasi tempat tinggal mereka pun sangat mempengaruhi kegiatan apa saja yang mereka lakukan di setiap harinya. Bahkan saat mereka sudah menemukan ritme yang tepat tanpa jadwal tertempel di dinding sekalipun mereka sudah dapat menjalani harinya hanya dengan alarm tubuh yang sudah terbiasa dengan kesehariannya tersebut.

Anak-anak homeschooling juga bukan anak-anak manja dengan kehidupan serba santai di rumah, mereka juga kerja keras meraih mimpi-mimpi besarnya meski dengan melintas di satu jalan lengang pilihannya. Mereka tidak butuh pengakuan berlebih karena pelajaran hidup dari kesehariannya sudah cukup membuat mereka dapat berkompeten di bidangnya masing-masing. 

Mereka hanya ingin menjadi diri sendiri tanpa terpasung tuntutan angka dan nilai sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan seorang anak. Itulah mengapa beberapa keluarga memilih menjalani hari-hari mereka dengan menjadi kejora. Tetapi melakukan hal-hal luar biasa yang berbeda dan tetap membumi itu cukup sulit di tangkap mata awam. Pola pikir dan kondisi sekeliling yang masih terdogma bahwa belajar adalah di sekolah bersama teman-teman dan guru-guru, membuat sebagian orang masih belum paham betul bagaimana asiknya berproses dalam homeschooling yang dijalani oleh satu keluarga. 

Masih saja ada yang beranggapan bahwa jika anak-anak sejak kecil dikungkung di rumah dan belajar mandiri, selain akan melahirkan sikap yang individualis juga akan melahirkan keterasingan di masa mendatang karena anak-anak tidak memiliki relasi sosial yang mereka butuhkan. Jika dikungkung tentu saja akan menjadi seperti pemikiran tersebut, tetapi proses homeschooling tidak mengungkung anak. Bentuk pemikiran ini tentu saja harus diluruskan. Dalam pembelajaran sekolah rumah ini malah sebaliknya, telah melahirkan banyak generasi yang mempunyai relasi luas dengan pemikiran sangat terbuka. Karena anak-anak sedari dini dipaparkan bagaimana cara berinteraksi, komunikasi dan sosialisasi lintas usia untuk kemudian dikenalkan secara langsung dengan banyaknya halang rintang dalam hidup melalui pembelajaran tentang life skills. Jadi bukan karena namanya sekolah rumah kemudian mereka hanya berkegiatan di dalam rumah saja tetapi proses belajarnya bisa dimana saja karena dunia begitu luasnya untuk tempat mereka belajar apapun.

Kejora Bukan Pamer Kerlip karena memang dari sekian cahaya tersebut ada yang berbeda terangnya tetapi tidak berkedip karena kejora bukanlah bintang tetapi adalah planet Venus yang tampak bersinar dari Bumi karena pantulan cahaya Matahari. Begitupun dengan keluarga homeschooling, akan terlihat lebih terang karena mereka selalu menjadi keluarga pembelajar yang siap berpeluh di jalannya yang memang berbeda.   

Salam Pembelajar dari kami, Keluarga Homeschooling Hutan Hujan Kalimantan Timur.













Saturday, June 13, 2020

Stupid Mom dalam WAG

 
Saya pernah menjadi Stupid Mom dalam WAG yang menjadi korban bullying, tapi saya memaafkan dan bangkit untuk menjadi Homeschool Mom yang Bahagia dan Produktif.

Beberapa tahun yang lalu saat saya mulai pindah ke perkebunan kelapa sawit karena mendampingi suami yang bekerja sebagai karyawan di perkebunan, media sosial belum seperti saat ini. Meski saya sudah aktif di salah satu platform tapi belum marak pembentukan grup-grup whatsapp. Saya menjalani hari-hari dengan program unschooling untuk ananda yang sangat aktif dan hanya berkegiatan di bidang seni serta rutinitas sebagai ibu rumahtangga biasa yang hidup jauh di pelosok, pedalaman Kalimantan Timur. Hampir tiga tahunan saya menjalani hari-hari sunyi perkebunan, terkadang saja pergi ke kota karena suami sedang mendapat rotasi long weekend atau cuti kerja.

Kemudian di chapter saya harus kembali ke kota untuk mendampingi ananda yang pada saat itu masih berada di jalur formal, saya mendapatkan satu kejutan "menarik" yang akhirnya menjadi salah satu faktor yang membawa saya untuk mendalami homeschooling dan semua konsekuensinya selain karena ananda hatinya juga memilih menjadi homeschooler

Pada waktu itu saya baru saja tergabung dalam whatsapp group yang beranggotakan the mommies dari anak-anak yang berada di satu kelas formal. Saya benar-benar masih buta tentang apa itu whatsapp group dengan berbagai perbincangan dan cara "bermainnya". Sehingga kemungkinan besarnya saya telah melakukan kesalahan dalam bertutur bahasa di whatsapp group dan terjadilah pem-bully-an itu. Berawal dari komentar saya yang mohon ijin tidak ikut dalam rapat paguyuban yang pada saat itu agendanya adalah untuk memilih koordinator kelas ternyata malah berujung dengan tidak baik. Singkat cerita saya sudah di-bully habis-habisan karena saya sempat dikeluarkan dari grup kemudian dimasukkan lagi. Dan lucunya pada saat itu saya tidak paham betul mengapa sampai dihakimi seperti itu, semua terjadi secara tiba-tiba dan perbincangan dalam grup tersebut meluncur deras menyudutkan saya. Bisa jadi karena tutur kata yang saya gunakan keliru, berkomentar yang kurang tepat pada waktu yang tidak tepat pula atau sebab lain sampai hari ini belum saya ketahui pasti. Dan saya juga tidak ingin tahu karena di lain hal saya punya permasalahan yang harus dihadapi pada saat itu, ananda yang masih sangat rewel karena baru masuk sekolah serta masih dalam proses terapi perilaku. Saya akhirnya merasakan juga bahwa "terjebak" dalam WAG itu jika menolak salah, ikut aruspun serba salah karena tidak menjadi diri sendiri, dilema semua orang di era ini. 

Rasanya sungguh seperti naik kapal cepat di tengah gelombang tinggi. Ingin memuntahkan semua ketidaktahuan saya, keterkejutan dan kebodohan saya saat itu kemudian kembali berada di perkebunan, di kehidupan unchool mom yang penuh kegiatan tapi membahagiakan. Saya juga sempat berpikir sepertinya keputusan saya untuk kembali ke kota adalah kekeliruan besar. Saya saat itu hanya seorang Stupid Mom yang baru saja "keluar dari hutan" dengan masih jetlag sana sini dan dengan semua pengalaman baru. Bullying itu benar-benar sangat menyakitkan, jika tidak denngan banyaknya dukungan dari suami, keluarga dan teman-teman terbaik mungkin waktu itu saya sudah langsung kembali ke perkebunan. Tapi kembali saya diingatkan bahwa berada di kota saat itu dengan satu tujuan untuk mendampingi pendidikan ananda.

Di bagian bahagianya, saya memaafkan kejadian tersebut tapi tetap saya ingat sebagai pengalaman berharga meski menyakitkan pada saat kejadiannya. Kemudian saya mengikuti semua kegiatan the mommies meski itu bukan diri saya sebenarnya. Saya jalani saja dengan semangat hanya fokus pada pendidikan ananda. Drama mama-mama muda saya biarkan berlalu, tetapi sebagai titik balik dimana hampir tiap hari saya mulai belajar tentang homeschooling karena saya berpikir sepertinya jalur formal dan semua kegiatannya ini tidak cocok dengan kepribadian saya. Saya bukan anti sosial tetapi lebih merasa menjadi diri saya saat berkegiatan sendiri di rumah. Ternyata ananda pun mempunyai pola pikir yang serupa dengan ibunya. Dia lebih nyaman dan produktif ketika berkegiatan dalam rumah. Tidak ada yang salah dengan suatu pilihan, saya dan ananda bukan jago kandang,  follow your heart itu lebih baik daripada hanya sekedar mengekor tetapi tidak sepenuhnya bahagia.

BOOM ... Setelah hampir dua tahun menjalani sekolah formal, saya dan keluarga memutuskan untuk memilih jalur alternatif, sarana pendidikan lain yang mampu membuat saya dan ananda merasa nyaman, bahagia lahir batin. Bukan kah anak bahagia jika orang tuanya pun demikian, dan saya memilih mempunyai anak yang bahagia dengan ibu yang bahagia juga. 

Kamipun menyelenggarakan homeschooling di tengah damainya suara aliran sungai Belayan, di bawah naungan pepohonan kelapa sawit yang jika tertiup angin kencang akan bersuara menyeramkan tapi entah kenapa saya suka, seperti berada di Negeri Dongeng dengan happily ever after nya. Semua ini  menentramkan sehingga mampu mengeluarkan energi baik untuk mengawal semua proses bertumbuhnya si pesekolah rumah. 

Dan teruntuk mama-mama hebat yang pernah menjadi bagian dari cerita hidup saya, terima kasih untuk semua pengalaman berharganya. Saat ini saya telah menemukan jalan lengang yang membuat saya jauh lebih bahagia dan produktif. Salam semangat menjadi super mom untuk putra-putri tercinta dan terus lah berkarya di bidangnya masing-masing. 



 

Friday, June 12, 2020

Ayah adalah Kepala Sekolah


Seorang ayah dalam struktur homeschooling mempunyai peran sangat penting, selain sebagai Kepala Sekolah juga harus bisa menjadi fasilitator untuk lancarnya proses pembelajaran yang membutuhkan banyak strategi serta kreatifitas tersendiri. Sehingga dalam kondisi terbatas sekalipun tetap bisa memberikan fasilitas yang mencukupi untuk mendukung semua rutinitas si pesekolah rumah. 

Peran ini tidak mudah, perlu pembelajaran di setiap harinya dengan selalu meng-upgrade bentuk parenting yang sesuai dengan kondisi jaman. Ada etika-etika dan norma kehidupan yang di dapat dari didikan orang tua dahulu yang masih harus diterapkan tapi tidak sedikit yang perlu "di modifikasi" karena sudah kurang tepat lagi untuk era digital seperti saat ini. 

Dalam homeschooling yang keluarga saya jalani di tengah perkebunan kelapa sawit ini memang banyak sekali tantangannya. Dan saat suami menjadi Kepala Sekolah bagi anak sendiri yang berpola pikir sedikit berbeda dari kebanyakan anak usia 8 tahun memang perlu satu visi yang beyond tomorrow. Perhitungan yang matang dan setidaknya berpola pikir setahap lebih awal dari pemikiran ananda yang super futuristik tetapi juga sangat rewel di beberapa hal yang tidak disukainya. Mengawal serta mendampingi kegiatan-kegiatan pengembangan kepribadiannya ini haruslah sangat sabar, mengontrol emosi yang kadang kala muncul karena bentroknya beda pola pikir perlu disiasati dengan obrolan-obrolan kecil sebelum tidur. Ini sudah seharusnya dilakukan agar dapat menyatukan dua peran berbeda tersebut, karena di sini seorang Ayah yang Kepala Sekolah adalah juga Kepala Sekolah yang seorang Ayah dari si pesekolah rumah. 

Jika boleh menyamakan dengan posisi seorang ayah saat menjadi karyawan dengan banyak rekan kerja yang berbeda dan dengan sabarnya mampu menyelesaikan berbagai masalah dalam dunia kerjanya maka alangkah indah pada saat mengawal si pesekolah rumahnya pun juga demikian. Karena saat belajar tentang hidup di sini adalah semua anggota keluarga dimana orang tua lah yang sebenarnya belajar banyak dari tumbuh kembang anak. Malaikat-malaikat kecil tanpa sayap ini hanya melihat bagaimana keseharian orang tuanya kemudian meng-copy paste dalam rutinitas mereka karena anak-anak adalah peniru yang sangat ulung. Jadi jika dikatakan bahwa anakmu adalah cerminan dirimu adalah benar adanya. Apalagi dengan anak yang seharian berkegiatan di rumah tentu saja keluarga inti lah yang kemudian menjadi panutan pertama baginya. 


"Ayah adalah Kepala Sekolah dan Ibu adalah Madrasah pertama bagi anak-anaknya adalah sudah semestinya dapat diterapkan dalam setiap keluarga karena tidak hanya untuk keluarga homeschooling saja, salam semangat dalam mendidik anak-anak Indonesia untuk semua keluarga hebat di seluruh Nusantara tercinta ini." 











 
 


Friday, June 5, 2020

Homeschooling Dorodango Oranye


 Dalam keterbatasan fasilitas, homeschooling tetap bisa diselenggarakan. Sebagaimana yang terjadi di keluarga saya yang saat ini sedang bernaung di luasnya hutan hujan Kalimantan Timur. Di pedalaman dengan akses yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, keluarga saya tetap menjalani hari-hari sebagai keluarga homeschooling, suami sebagai Kepala Sekolah bertugas mengontrol jalannya pembelajaran dan sebagai pengajar pengembangan kepribadian dengan segala urusan yang sangat laki-laki karena si pesekolah rumahnya adalah laki-laki kecil dengan energi berlebih yang tidak bisa duduk diam. Sedangkan saya dalam hal ini sebagai guru yang mengajarkan tentang akademis, juga beberapa keterampilan dalam bidang seni dan budaya. Keluarga saya mengandalkan alam raya dan teman-teman dengan kekerabatan yang dekat sebagai pendukung. Halaman rumah yang di kelilingi pepohonan disertai berbagai macam spesies sebagai perpustakaan yang dapat di eksplor kapan saja, sedangkan pertemanan dengan berbagai lintas usia adalah sarana untuk untuk bersosialisasinya. 

Menyelenggarakan Sekolah Rumah ini memang harus dinikmati prosesnya, yang mana semua hal kemudian menjadi berbeda. Karena di Sekolah Rumah, akademis bukan menjadi prioritas utama, minat dan bakat lah yang menjadi raja dan ratunya. Dengan berbagai macam cara memfasilitasi ananda dalam memperdalam hobinya serta berusaha menjadi fasilitator yang baik untuk lancarnya proses pembelajaran. Sehingga dalam homeschooling yang diselenggarakan itu akan ada satu kenikmatan yang dapat dirasakan oleh orang tua dan pesekolah rumah itu sendiri yaitu dapat meng-upgrade diri tanpa banyak intervensi. Kemerdekaan dalam belajar dengan batasan-batasan yang aksinya terfokus pada tujuan awal mengapa sebuah keluarga itu memilih jalan yang lengang, homeschooling. 

Dan agar jalanan yang lengang itu semakin nyaman terasa, membuat jadwal untuk rutinitas dalam homeschooling adalah satu faktor penting agar ananda dapat memahami bahwa sekalipun tidak pergi ke luar rumah untuk bersekolah tetapi ada satu keteraturan dalam kesehariannya. Pembuatan jadwal tersebut dapat berdasarkan kesepakatan bersama, karena ciri dari anak yang sudah terbiasa dengan ritme homeschooling adalah respon cepatnya saat diajak berdiskusi dalam mengatur jadwal ataupun kegiatan lainnya. Jadi semakin bertambahnya usia ananda maka akan semakin terlatih untuk cepat tanggap dalam mencari solusi tiap permasalahan yang muncul. 

Seperti saat kita akan bepergian, masing-masing sudah menentukan destinasi, sarana dan akomodasi yang sesuai dengan kebutuhan. Demikian halnya dengan homeschooling yang menjadi salah satu sarana dalam bidang pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan tiap keluarga. Bagian tersulitnya adalah saat pertama akan memutuskan dan memulainya. Akan banyak pertanyaan-pertanyaan besar yang semakin terkumpul dan jika belum menemukan satu jawaban yang menentramkan maka akan berakhir dengan kembali mendelegasikan ananda kepada Sekolah Formal. Di sini memang sangat dibutuhkan orang tua yang pembelajar. Oleh karena itu, sesaat setelah tertarik dengan kehidupan di jalan lengang ini segeralah belajar dan mencari nara sumber yang berkompeten, dapat pula segera mendatangi PKBM terdekat untuk berkonsultasi, berdiskusi serius tapi santai dan berusahalah untuk menemukan jawaban yang panjang kali lebar tentang "belajar kehidupan" ini. Nah, sekarang pertanyaannya apa itu PKBM? Mungkin sebagian masih asing dengan istilah ini, PKBM adalah singkatan dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yaitu suatu lembaga non formal yang dinaungi oleh Dinas Pendidikan Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, serta Kemendikbud dengan memiliki program keseteraan paket A, paket B, dan paket C. 

Ketika berbicara tentang pendidikan kesetaraan, pendekatan dalam Sekolah Rumah ini memiliki rentang yang lebar antara yang sangat tidak terstruktur (unschooling) hingga yang sangat terstruktur (school at home) meskipun dalam prakteknya mempunyai struktur yang begitu berbeda dengan Sekolah Formal. Di negara kita sendiri masih sedikit yang menggunakan pendekatan unschooling, rata-rata hampir semua berorientasi terstruktur sebagaimana dilakukan oleh komunitas-komunitas sekolah rumah ataupun lembaga non-formal penyelenggara homeschooling. Dan sebagai bentuk pendidikan non-formal, semua pesekolah rumah harus menempuh ujian nasional pendidikan kesetaraan jika ingin mendapatkan pengakuan ijazah kesetaraan. 


Jika telah bergabung dengan salah satu PKBM yang dirasakan paling cocok dengan kebutuhan keluarga maka keluarga tersebut akan dibimbing dalam merancang kurikulum yang dapat dikustomisasi, semua dapat disesuaikan minat dan bakat ananda dengan porsi masing-masing jenjang. Seperti keluarga saya yang sudah bermitra dengan Sekolah Dolan - Malang, Jawa Timur dengan mengambil kelas Distance Learning karena terbentangnya jarak antara pulau Jawa dan Kalimantan, akan tetapi tidak ada kendala berarti dalam proses pembelajaran. Sekalipun ada sedikit halang rintang dalam prakteknya itu sangatlah wajar, atas ijinNya dan kebaikan semesta semua dapat diatasi, semua dapat dipelajari dan semua dapat diperjuangkan saat sudah punya tujuan pasti mengapa memilih jalur alternatif ini.

Bagaimanakah dengan sekilas penjabaran saya tentang home base education ini, apakah semakin tertarik atau malah sebaliknya? Di pandemi 2020 ini memang banyak orang tua yang berpikir lebih baik berpindah pada pendidikan berbasis keluarga ini tetapi harus diingat untuk tidak terburu-buru memutuskan karena ini adalah pilihan yang prosesnya sangat panjang dan penuh lika liku. Banyak faktor yang harus di pelajari dengan pemahaman yang out of the box karena memang harus sedikit gila untuk berani memutuskan menjadi keluarga homeschooling. 

Homeschooling sendiri dalam benak saya itu dorodango berwarna oranye, dorodango adalah kesenian tradisional pembuatan bola tanah liat yang berasal dari Jepang, dibuatnya dengan proses panjang penuh kesabaran agar hasilnya dapat bersinar secerah matahari oranye di kala senja. 

"Sudah siapkah keluarga anda menjalani homeschooling dorodango oranye?"


















Friday, May 29, 2020

Saya Velocette, Saya Indonesia !




Senin pagi tanpa upacara bendera bukanlah satu rutinitas yang menjauhkan pesekolah rumah yang satu ini dari rasa cinta tanah air. Bukan pula membuatnya lupa tentang "Merah Putih". Ini malah membuat dia terus belajar mencintai negerinya, meski harus tinggal jauh di pedalaman Kalimantan Timur, di bawah rimbun pepohonan dan di atas rumput lembab hutan hujan, Sang Saka harus tetap berkibar. 

Satu hari di bulan penuh makna bagi bangsa ini, di Agustus dengan kabut asap yang mulai mengelilingi perkebunan, pesekolah rumah ini telah membuktikan cintanya pada tanah air. Dengan segala rutinitas pagi yang mengalir santai khas dari ritme kegiatan homeschooling, si bocah kelas satu Sekolah Dasar ini membuat bendera dari kantong plastik. Dia menggunting dan menempel kantong plastik warna merah dan putih dengan riang sembari bertanya mengapa warna bendera negaranya merah dan putih. Kemudian saya membantunya menjahit bendera tersebut sambil bercerita tentang bendera pertama yang dibuat oleh ibu Fatmawati, istri dari presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Sorot matanya tajam memandang saya saat bercerita tentang Merah Putih. Selang beberapa saat, diambilnya sebilah kayu ulin kecil panjang yang tergeletak di teras belakang untuk dijadikan tiang bendera. Setelah siap, digalinya lubang kecil di halaman depan. Dengan semangat dia tancapkan bendera kantong plastik tersebut dan memberinya hormat. 

Sedikit basah di ujung mata melihatnya seperti itu. Kelas Tanpa Sekat ini benar-benar membuatnya lebih percaya diri dengan begitu banyak ide di kepalanya yang bisa langsung tersalurkan. Seperti melihat film pendek tentang patriotisme saja tetapi ini nyata, tanpa saya meminta untuk berbuat demikian dengan kesadaran akan cintanya pada Indonesia lah yang sudah menggerakannya untuk tetap merayakan Hari Kemerdekaan di tengah sunyinya perkebunan kelapa sawit.

Keindahan dalam ber-homeschooling memang pada saat melihat si pesekolah rumah telah mampu mengupgrade dirinya tanpa banyak intervensi dari orang lain tak terkecuali orang tuanya. Ini merupakan ceruk yang terjadi saat menjalani sekolah konvensional atau saat mendelegasikan ananda pada orang lain, ide-ide dalam benak anak-anak terkadang kurang dapat terekspose maksimal karena terbentur keseragaman standar kurikulum yang cenderung kaku. Akan tetapi bukan berarti semua hal menjadi sangat sempurna saat ber-homeschool ria, banyak tantangan dan kegalauan juga yang harus dihadapi karena konsekuensi dari setiap pilihan sudah pasti ada.

Jadi apa saja kah "keruwetan" yang terjadi dalam Sekolah Rumah ini? Satu yang paling tampak adalah struktur yang sudah terjadwal sering kali terlewati karena beberapa hal klasik semisal jadwal pagi yang seharusnya olahraga kemudian mandi atau sebaliknya dapat terlewati karena tiba-tiba ada tamu atau ada hal lain yang harus dilakukan saat itu juga. Sangat wajar sekali karena memang penyelenggaraannya di rumah dan semua jadwal juga menyesuaikan dengan situasi dan kondisi rumah. Solusi dari hal-hal semacam ini adalah menggeser jadwal kegiatan yang terlewati tersebut atau dapat pula memindahkan jadwalnya di lain hari. Semua sangat fleksibel dan itu sering terjadi dalam kehidupan karena kita bukannya robot. Disinilah anak-anak belajar tentang hidup, bagaimana mencari solusi dari satu permasalahan sekecil apapun itu. Selain jadwal yang sudah tersusun rapi dapat berubah sewaktu-waktu, apa yang dipelajari anak-anakpun terkadang acak saja sesuai keinginan anak pada saat itu. Di sini lah orang tua sebagai pendamping di tuntut untuk selalu mengawal apapun yang sedang dipelajari anak-anak mereka. Jika di rasa sudah terlalu curam jalan yang ditempuhnya maka dapat sesegera mungkin menggiringnya kembali ke lintasan yang benar. Untuk orang tua yang pembelajar, hal-hal di atas adalah tantangan yang mengasikkan dan bukanlah satu hal yang harus di perdebatkan dan menjadi keluh kesah berkepanjangan.

Jadi bagi orang tua yang sedang atau sudah mulai tertarik tentang kehidupan homeschooling jangan lah hanya melihat yang asiknya saja karena ada banyak tikungan tajam yang perlu ditaklukkan. Ada pula jalanan berbatu yang perlu di perbaiki perlahan. Sebagaimana pesekolah rumah saya yang sedang berjuang meraih mimpi besarnya. Bermukim dalam hunian nun jauh dari keramaian, bermain, belajar dan berkarya dalam keterbatasan. Inilah tantangan tersendiri untuk keluarga homeschooling saya saat sekarang. 

Seperti cerita hari ini, tampaknya hanya kegiatan kecil membuat bendera dari kantong plastik, tapi saya dan si bocah memaknainya sangat dalam. Suatu hari pesekolah rumah ini akan bertumbuh dan mengingat apa yang telah dikerjakannya di satu hari di pertengahan Agustus. 

"Saya Velocette, Saya Indonesia !" 












Tuesday, May 19, 2020

Bukan Black Borneo


Bersama dalam sunyi, berkegiatan dalam sepi. 
Merasakan segala manfaat angin, air dan tanah minim polusi. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas, truk pengangkut hasil panen kelapa sawit, itupun tidak setiap hari akan lewat depan rumah. Suara-suara di sekitar akan riuh kala anak-anak mulai berkegiatan di sore hari selepas sholat ashar. 

Anak-anak matahari khatulistiwa ini berasal dari suku, agama, dan adat budaya yang berbeda-beda. Indah bukan, mereka berkumpul dalam satu waktu bermain dan belajar mencintai sesamanya. Berharap kelak mereka dewasa akan tetap seperti ini, tetap ber-Bhinneka Tunggal Ika, tetap saling
menghormati juga menghargai perbedaannya. 

Bahasa yang mereka gunakan memang bahasa Indonesia tetapi dengan dialeg yang bercampur dengan bahasa daerah setempat. Inilah, gambaran tanah air tercinta kita, semua dapat berbaur dalam satu kesatuan yang jika terus di pupuk maka akan tetap teguh bersatu. 

Dalam jalan cerita di bagian ini, saya merasa sangat beruntung karena anak saya berada di lingkungan yang beragam. Belajar mengenal banyak suku dengan adat dan agama yang berbeda pula. Dia mulai paham bagaimana harus menghargai bahwa temannya yang bersuku Batak, Dayak, Toraja dan Maluku yang beragama nasrani harus pergi beribadah minggu di gereja. Sebaliknya teman-temannya akan duduk menunggu anak saya saat sedang menjalankan ibadahnya di masjid untuk kemudian berkegiatan bersama. Pelajaran penting untuk kerukunan antar umat di dunia ini yang tidak hanya di pelajari dari buku saja tentunya. 

Kelas Tanpa Sekat memang belajar tentang hidup dan life skills. Karena dalam mendidik anak bukanlah hanya tentang kecenderungan pada mata pelajaran saja. Pendidikan itu jauh lebih luas, sebagaimana yang dapat kita pelajari di channel Tanam Benih Parenting tentang dasar pola pikir besar dalam mendidik dan mendampingi anak-anak. Ada satu catatan penting yang saya pelajari di mana UNESCO di tahun 1999 menyatakan bahwa Four Pillars of Education  dalam mendidik anak-anak itu adalah, pertama, Learning to Know yaitu belajar untuk mengetahui, bagaimana mendidik anak dengan pengetahuan, memberikan pengetahuan-pengetahuan kognitif yang menginformasikan tentang segala ilmu dunia dan komplesitasnya. Yang kedua adalah Learning to Do yaitu belajar untuk melakukan, ini adalah belajar melatih berbagai macam ketrampilan pada diri anak karena semakin anak mempunyai banyak ketrampilan maka anak-anak akan semakin baik hidupnya dan percaya diri. Dan yang ketiga adalah Learning to Live Together yaitu belajar untuk hidup bersama. Ini adalah mengajarkan mereka bagaimana berempati pada orang lain dan bagaimana bisa berdiskusi dengan baik serta ngobrol dengan baik meski dengan lintas usia. Terakhir, yang ke empat adalah Learning to Be yaitu belajar menjadi. Ini adalah bagaimana mendidik anak-anak mengembangkan dirinya menjadi manusia yang berkepribadian kuat. 

Di kaki saya berpijak, di pulau yang berhawa panas, Borneo, saya dan keluarga sedang belajar tentang empat pilar penting dalam mendidik anak tersebut. Learning by doing di setiap harinya, semua berproses dalam dekapan alam indah tanah Khalamanta. Ini yang saya syukuri karena dengan menyelenggarakan homeschooling semua goals dalam keluarga dapat tersusun rapi. 

Tetapi bagaimana dengan teman-teman kecil di sekitar ?
Sekalipun di sini, bukan lagi daerah terpencil tanpa sarana pendidikan, tetapi di sini adalah Indonesia dengan fasilitas pendidikan yang terbatas meski semua telah terjamah teknologi. Anak-anak usia sekolah dan keluarga mereka masih sangat membutuhkan sentuhan pendidikan yang jauh lebih baik lagi.

Datang, dan lihatlah hamparan tanah oranye, lantai bagi kehidupan di bumi Bukan Black Borneo .... 
Ada keluarga homeschooling saya yang berharap semua teman-teman kecil di sini dapat pula merasakan arti Merdeka Belajar seutuhnya. 











Monday, May 11, 2020

Kelas Tanpa Sekat vs Ibu Rumah Tangga

Pernah di satu masa saya terbawa arus pemikiran yang belum sempurna. Rumus yang terbentuk turun temurun dalam lingkaran sosial bernama masyarakat bahwa jika perempuan sudah sekolah tinggi dan mencapai gelar sarjana, selepas itu haruslah bekerja. Dengan beberapa alasan dominan yang seakan menjadi dosa besar saat perempuan berpendidikan tinggi memilih untuk tidak berkarir.

Sedangkan dalam pemahaman saya pribadi bahwa perempuan yang bersekolah sampai level tertinggi sekalipun kalau memang pada ujungnya dia memilih akan menjadi seseorang yang tidak bekerja di luar rumah, ilmu yang dia dapat adalah bekal dengan menu sehat untuk mendidik anak-anak dan keluarga mereka saat sudah menjadi ibu, tidak ada kerugian apapun didalamnya. Eksistensinya semakin bersinar, karena berproses menjadi wanita terpelajar yang juga pendidik keluarga.

Ada satu kutipan dari Tere Liye seorang penulis novel yang beberapa karyanya pernah diangkat ke layar kaca. Tulisannya tentang ibu rumah tangga seakan menguatkan bahwa pemahaman saya selama ini tidaklah salah. "Ketika seorang ibu rumah tangga menghabiskan waktu mengurus keluarga, anak, suaminya, maka jangan tatap masa-masa berlalu cepat dan ibu itu hanya begitu-begitu saja di rumah, malah semakin menua. Tapi tataplah anak-anaknya yang tumbuh besar, jadi anak-anak keren. Tataplah suaminya yang berkembang mengagumkan, menjadi orang-orang yang hebat. Itulah hakikatnya seorang ibu rumah tangga, tidak dilihat dari dirinya. Tapi dari orang-orang yang dia cintai di sekitarnya."  

Dan saya, SAAT INI, di takdir manis sedang menjalani "dosa besar" yaitu murni menjadi ibu rumah tangga yang di rumah saja. Mengapa saya tekankan saat ini, karena di sekitar belasan tahun silam saya adalah perempuan yang bekerja di luar rumah. Di mulai dari 1998 saat saya masih belum mendapatkan gelar sarjana pun sudah mulai menjalani masa-masa menjadi seorang yang bekerja. 

Apakah saat itu saya bahagia? Ya dan Tidak. Ya, karena setidaknya saya sudah melakukan apa yang menjadi "keharusan" menurut masyarakat. Tidak, karena ternyata saya belum bebas untuk menjadi diri sendiri. Sampai pada takdir, Dia Yang Maha Asik, begitulah kata Sudjiwo Tedjo, memang benar-benar Maha Asik. Karena tanpa disadari telah menggiring hidup saya berproses menjadi Ibu Rumah Tangga yang merdeka menjadi diri sendiri. 

Jika sebelumnya saya merasa menjadi Seniman Bayangan memang hambar, saya gunakan istilah tersebut karena lulusan sekolah sastra tetapi belum juga menghasilkan karya sastra. Saya memang pernah menjadi staff pengajar di beberapa lembaga pendidikan dan akademi bahasa, saya yang juga penyuka seni dalam bentuk apapun sudah pula menggunakan jari jemari untuk membuat beberapa karya yang menghasilkan uang tetapi entahlah seperti ada sesuatu yang mengganjal dan belum terlaksana.

Sampai pada satu waktu telah membawa saya menjadi praktisi homeschooling dengan segala seni nya pula. Kemudian berawal dari percakapan singkat di kolom komentar satu akun media sosial milik bapak Lukman Hakim, "Kepala Suku" anak-anak Homeschooling Sekolah Dolan - Malang untuk menuliskan kegiatan bocah saya di majalah Sekolah Dolan. Entah mengapa saat tiba di persimpangan, saya mantap berbelok melanjutkan tantangan tersebut dengan membuat buku non fiksi yang Alhamdulillah sudah siap di baca oleh semua kalangan. 

Kelas Tanpa Sekat yang saya selenggarakan di tengah luasnya perkebunan kelapa sawit ini telah meng-upgrade diri saya, seorang Ibu Rumah Tangga biasa, salah satu profesi membanggakan dari sekian banyaknya profesi hebat di dunia. Saya bersyukur dapat terus "bekerja" mengamalkan ilmu selepas menjadi sarjana meski hanya dari rumah saja. Karena homeschool mom itu juga adalah teacher, cook, gardener, housekeeper, nurse, fashion coordinator, photographer, video editor dengan tanpa menghilangkan keanggunan seorang Mother. Saat kemudian bermetamorfosis menjadi pemula dalam hal menulis yang memang tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya merasa inilah satu ganjalan yang selama ini berusaha saya temukan. Ternyata tersembunyi dalam lorong masa depan.

Inilah satu dari sekian hal menakjubkan yang terjadi di balik keberadaan Kelas Tanpa Sekat di gelapnya hutan hujan Kalimantan Timur. Perubahan saya dan keluarga ke arah jalan hidup yang semakin banyak kelokan tajam, tebing curam dan tanjakan licin tetapi membahagiakan ini pasti karena offroad untuk sebagian orang memang memicu adrenalin, tak terkecuali keluarga saya. 

Untuk itu terima kasih atas dukungan penuh cinta dari suami dan si bocah pesekolah rumah di banyak hal yang terjadi dalam proses upgrade diri saya.

Penampakan sampul buku perdana saya sebagai satu momen pembebasan diri dari belenggu doktrin sosial selama ini. 

Dan jika tertarik untuk membaca buku Velocette, Homeschooler dari Tanah Hulu dapat langsung chat di whatsapp 081217143366 atau "meninggalkan jejak" di kolom komentar. 



Sunday, May 10, 2020

Pertolongan Pelepah Sengkleh


Berjalanlah, bergeraklah, bernafaslah yang dalam.
Hirup dan hembuskan perlahan, rasakan damainya hidup bersama daun dan angin.



Tidak ada yang sia-sia saat kita mantap memilih jalan berkelok sekalipun, karena di hampir setiap kelokan sesekali akan ada rest area untuk sejenak menyegarkan tubuh. 
Sama halnya setelah memutuskan memilih jalan menjadi keluarga Homeschooling, saya menjadi seorang yang "berbeda". Yang sebelumnya selalu surfing di toko-toko online berburu barang-barang antik atau peralatan dapur tiba-tiba beralih menjadi penggemar situs project for kids, how to start homeschool, how to be a homeschool mom dan tentu saja parenting sites.
Isi kepala hanya bagaimana merancang keseruan bersama si bocah dalam kegiatan Sekolah Rumah, karena akan ada hari-hari yang panjang bersamanya dari bangun pagi sampai senja menjelang dan malam terbentang untuk mengistirahatkan penghuni dunia. 
 Kesenangan baru itu membuat saya lupa bahwa persiapan mental adalah yang utama dan ketenangan hati serta pikiran adalah bekal bagi para pemula dalam penyelenggaraan Sekolah Rumah, mindset juga harus pelan-pelan di geser, belajar itu bukan hanya melulu tentang akademis tetapi ada banyak hal lain yang ternyata lebih penting yaitu karakter dan life skills. Semua itu perlu yang namanya kesabaran dalam berproses, tidak instan tiba-tiba terlihat hasilnya dalam sepersekian hari.

Di awal Ramadhan 2019, cuaca hangat cukup membantu saya menetapkan inilah hari pertama memulai kegiatan Homeschooling. Jadwal sudah tersusun rapi, dengan harapan akan dapat terpenuhi sesuai dengan keinginan hati. Dan karena berada di perkebunan itu terkadang serasa mempunyai pulau sendiri yang di tumbuhi beraneka anggrek liar, tanaman paku raksasa, dan di huni oleh bermacam spesies serangga juga burung-burung berparuh kuning, maka eksplorasi alam akan sangat menyenangkan untuk dijadikan menu sehari-hari apalagi si bocah adalah anak yang lebih suka bergerak daripada duduk diam memandang gawai.


Kegiatan seharian untuk kali pertama itu mengalir perlahan, pagi diawali dengan jalan menyusuri blok-blok perkebunan. Tracking yang membuat tandon mood bahagia terisi penuh. Manfaatnya bukan hanya dapat menghirup segarnya aroma daun berembun tetapi juga dapat belajar tentang alam, tentang rasa syukur, tentang menguatkan kaki, otak dan seluruh raga. Sembari berjalan obrolan bergulir meluas, tidak hanya seputaran mengagumi warna oranye tanah perkebunan saja tetapi sampai jauh mengenai proses terbentuknya limbah cair yang dihasilkan dari sisa pengolahan kelapa sawit. Percakapan yang terlalu tinggikah untuk anak berumur 6 tahun 10 bulan pada saat itu? Tidak, karena itu terjadi dari rasa ingin tahu si bocah sendiri bukan belajar karena di minta untuk mempelajarinya.

Di beberapa waktu setelahnya perjalanan pagi mengeksplor alam memang menjadi menu yang di tunggu, paru-paru semakin segar karena tidak berjalan di antara hingar bingar asap berpolusi dari knalpot kendaraan yang sibuk dengan aktifitas mengantar tuan-tuannya sampai ke tempat tujuan.


"Pagi hari di bawah matahari khatulistiwa, di antara pelepah-pelepah sengkleh pohon kelapa sawit tua, di kelilingi suara-suara satwa di balik rimbunnya flora dan kepak sayap burung bubut coklat muda memang serasa berada di Isla Sorna tempat Dinosaurus bertahta."





Thursday, May 7, 2020

Alam Adalah Rumah Hangat

Pertama kali saya mendengar istilah Homeschooling itu di sekitar tahun 1996 pada saat beberapa anak dari public figure tanah air mulai menyelenggarakannya. Anak-anak tersebut bergabung dalam satu komunitas Homeschooling yang ada di ibukota. Dan kemudian di tahun 2005 semakin menjadi alternatif pendidikan di kalangan masyarakat kota besar dikarenakan pendidikan formal yang di rasa cenderung stagnan.

Padahal setelah saya banyak belajar tentang pendidikan berbasis keluarga ini, Homeschooling sudah ada di sekitar tahun 1960-an di Amerika Serikat. Berkembang atas gagasan seorang pengajar yang bernama John C. Holt. Dasar dari pemikiran Holt ini adalah pembebasan cara berpikir instruktif yang dikembangkan di sekolah-sekolah formal. Sedangkan anak-anak adalah pembelajar yang secara mandiri akan belajar tanpa diminta bahkan dipaksa jika anak-anak tersebut diberi kebebasan memilih apa yang ingin dipelajari sesuai dengan apa yang menjadi minat mereka. Dengan diberi fasilitas, sarana dan berbagai sumber belajar maka mereka akan berkembang dan dapat meng-upgrade diri mereka sendiri tanpa banyak intervensi dari orang lain.

Dan sebagaimana biasanya, sesuatu yang baru pasti akan di anggap asing atau aneh, seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang begitupun dengan awal keberadaan Homeschooling. Sebagian masyarakat menganggap ini sebagai satu pemahaman yang tidak wajar karena pada umumnya orang tua akan mendelegasikan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan dalam hal ini Sekolah Formal. Sedangkan Homeschooling memiliki konsep berbeda yaitu belajar mandiri di rumah yang kemudian lebih di kenal dengan istilah Sekolah Rumah meski pada kenyataannya bukanlah memindahkan sekolah ke rumah karena struktur yang ada di sekolah tidak mungkin bahkan tidak bisa untuk diterapkan dalam rumah. 

Tuesday, May 5, 2020

Membuka Pintu Petualangan

Menapaki jalanan tanah liat perkebunan.

Apa yang anda pikirkan tentang perkebunan kelapa sawit? Ya, satu area luas dengan tumbuhan kelapa sawit menjulang yang berjajar rapi, berhawa sejuk dan beraroma daun basah dengan lalu lalang bapak-bapak pemanen dan ibu-ibu penabur pupuk di pagi hingga sore hari. Kemudian saat malam tiba semuanya akan menjadi sunyi tanpa aktifitas apapun, hanya alam dan hewan nocturnal yang menguasai dalam kegelapan. Lantas bagaimana dengan rumah-rumah penduduknya? Bagaimana pula dengan kehidupan anak-anak usia sekolah yang ada di sekitarnya? Saya akan memulainya dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga dengan satu orang anak yang sedang menjalani keseharian di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di hutan hujan kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.